BAB 5 : MASA KECIL BERSAMA

23 3 0
                                    

# Day5
# 15HMCI
# Pena_Baswara_Makassar

Nama  :  Salya Ningrum
Judul Buku : Rahasia Sepupu Suamiku

BAB 5  :  MASA KECIL BERSAMA

"Warni, kenapa sih kamu?" ucap Mas Adi.

Warni cepat pergi sambil melengos, meninggalkan kami berdua yang saling menatap keheranan.

"Ah, sudahlah, Dek. Mas berangkat ke masjid sekarang, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Setelah itu aku bergegas masuk kamar untuk mandi. Kemudian mulai bersiap melaksanakan sholat maghrib di dalam kamar.

Malam harinya kami makan malam bersama. Warni bersama suaminya juga hadir.  Berbagai jenis makanan tersaji di atas meja. Kulihat Mas Adi mengambil semangkuk soto babat kesukaannya.

Ibu lalu berkata, "Ini loh  makanan kesukaan Adi dan Warni, dulu kalau sudah Ibu sajikan di atas meja, langsung ludes, ingat gak kamu Warni?"

"Eh, iya, Bu. Dulu Mas Adi sering menggodaku dengan menghabiskan soto itu sendirian, aku enggak dibaginya," timpal Warni sambil tertawa.

"Lah, kamu makannya kelamaan, yah Mas habiskan biar enggak mubazir," jawab Mas Adi tersenyum.

"Sudah, sudah, selesaikan dulu makannya, nanti lagi ceritanya," nasehat Bu Ani.

"Kamu juga Lia, makan yang banyak. Badanmu itu kekurusan, tidak sepadan dengan tubuh Masmu yang tegap," ujar Bu Ani sambil menambahkan nasi ke piringku.

"Eh, iya, sudah cukup Bu, nanti Lia kekenyangan," ucapku sambil menjulurkan tangan tanda sudah cukup.

Bu Ani lalu mengambil beberapa potong daging, beserta kuah soto dan menyuruhku menyantapnya.

Aku perlahan memakannya. Perasaanku sungkan untuk menolak permintaan ibu mertuaku ini.

Melihat aku yang kewalahan menghabiskan makananku. Mas Adi yang duduk di sebelahku. Pura -pura bersikap manja dengan memintaku menyuapi dia. Sampai akhirnya makanan yang di piringku habis.

Aku menatapnya sambil memberi isyarat terima kasih. Dia hanya mengedipkan sebelah matanya.

Sampai akhirnya acara makan malam selesai, aku dan Warni merapikan meja dan mencuci semua perlengkapan makan tadi.

Saat mencuci piring itu,  aku berusaha bersikap ramah pada Warni. Aku bertanya banyak hal tentang makanan dan minuman kesukaan Mas Adi yang lain.

Warni menjawabnya dengan penuh semangat. Tanpa diminta dia malah memberitahuku tentang tanda lahir yang ada di bagian tubuh sensitif suamiku.

Terus terang aku yang mendengarnya sangat kaget. Selama ini aku justru tidak pernah memperhatikan tanda lahir itu.

Apalagi kalau bukan karena kami belum pernah melewati malam pertama. Berbagai alasan sering aku ungkapkan ke Mas Adi saat dia menginginkannya.

Terus terang aku masih merasa takut untuk melakukannya. Testimoni beberapa teman yang mengatakan bahwa sakitnya bukan main, membuatku ketakutan.

Melihat sikapku yang berubah membuat Warni penasaran. Dia lalu bertanya, "Memangnya Mbak belum pernah melihatnya?"

"Eh, iya  sudah lah, kami kan suami istri," ujarku berusaha menutupi kegugupanku.

"Tapi Mbak malah penasaran, bagaimana kamu masih bisa ingat tanda lahir itu?"

"Kami kan pernah ti - .. tinggal bersama, maksudnya dari kecil," ucapnya terbata-bata.

"Ayo, Mbak. Sudah selesai. Aku mau pergi lihat bayiku dulu ya, Mbak," ucapnya sambil berjalan ke luar pintu dapur.

Setelah itu aku pun menuju teras, berkumpul dengan ibu , bapak, dan Mas Adi yang sedang asyik mengobrol di atas karpet.

"Lah, sini Nduk, duduk dekat ibu. Sudah selesai toh mencuci piringnya?" ujar Ibu sambil menggeser tempat duduknya.

"Sudah, Bu," jawabku sambil duduk diantara ibu dan Mas Adi. Mas Adi malah merengkuh bahuku, dia melanjutkan bercerita sambil memeluk pinggangku.

"Aku tuh bersyukur dapat istri solehah seperti kamu, Dek," ucapnya. "Kalau dipikir lagi, dulu banyak teman satu kos yang naksir kamu. Syukurnya aku langsung mengambil jalan pintas, meminta restu langsung pada ayahmu."

"Wah, itu kan ilmu bapakmu dulu, sewaktu mendekati ibu, dia juga mendekati eyang kakung kamu dulu, Adi," ujar ibu sambil melirik ke bapak mertuaku.

"Hehehe, aku memang konsultasi ke bapak dulu, Bu. Gimana caranya menaklukan hati wanita idaman yang memiliki ayah seorang tentara, yang terkenal tegas  dan disiplin."

"Owalah, pantesan saja," ucap ibu sambil tertawa. Kami pun akhirnya tertawa bersama.

Tak berapa lama terdengar suara azan isya berkumandang. Bapak dan Mas Adi berangkat bersama menuju ke masjid.

Saat aku hendak permisi sholat isya ke dalam kamar, namun ibu tiba-tiba berkata, "Ayo, kita sholat berjamaah, kamu yang jadi imamnya, ya Nduk."

"Baik, Bu," jawabku. Kami pun berjalan beriringan menuju mushola yang ada di samping rumah.

Bersambung ...

Rahasia Sepupu Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang