Surat 09: Caasiyn

5 3 0
                                    

Semoga para Dewa masih selalu melindungi kesehatanmu.

Aku menulis surat ini dari Meedl, kota kecil di selatan Sabaran. Karavan yang kutumpangi sedang beristirahat di kota ini selagi Badai Bul menghalangi jalan kami. Sebuah fenomena dimana ribuan binatang bertanduk empat bermigrasi dari utara Sabaran ke selatan. Tampaknya migrasi ini terjadi pada masa-masa tertentu, dan selama masa itu pula jalan dari barat ke timur juga terputus. Karena mustahil bagi sebuah kereta karavan untuk menembus kerumunan binatang sebanyak itu.

Untuk sekarang, aku menemukan beberapa hal di perjalanan yang akan kubagi denganmu. Yang pertama, sebuah danau raksasa yang mendidih. Asap mengepul dari balik permukaannya, seolah seseorang sedang merebus air danau itu seperti kuali. Tidak ada rerumputan sehelai pun yang tumbuh di sekitar danau itu, dan tidak ada seorangpun yang diizinkan untuk mendekatinya. Karavan kami harus memutari danau itu selama 2 purnama penuh.

Yang kedua, tidak jauh dari Sicylayn karavan kami melewati sebuah lembah yang tidak ditumbuhi pohon. Sebagai gantinya, ratusan bebatuan yang menjulang seolah tumbuh dari dalam tanah. Rerumputan yang subur disekitar melahap bebatuan itu, kadang hingga menutupi permukaannya. Dan diantara bebatuan itu, adalah sebuah patung yang "berjalan" di tepi jalan. Bentuk dari patung itu sangatlah serupa dengan manusia biasa, namun ia tidak memiliki mata dan hidung, hanya sebuah mulut yang menganga lebar. Dari mulut itu, suara tangisan dan teriakan terdengar.

Itu adalah Caasiyn, salah satu dari korban Mirakl sama sepertiku. Dari beberapa kisah yang kudengar di karavan, nampaknya ia terlahir dengan aspek batu, membuatnya segera dibuang oleh orang tuanya di jalanan. Karena aspek batu itu setiap gerakan yang ia buat menimbulkan rasa sakit yang luar biasa seolah seluruh tubuhnya retak, seperti batu. Aspek itu semakin menguat beberapa hari setelah kelahirannya, dan pembuangannya, dan ia menjadi sesuatu yang sulit dibedakan dengan patung. Seorang pemahat menemukannya, dan salah mengira kalau ia adalah sebuah patung biasa. Pemahat itu hendak membuat ulang patung menggunakan Caasiyn, menyebabkan mata dan hidungnya yang hilang. Setelah beberapa hari berlalu, Caasiyn menemukan cara untuk membuka mulutnya lebar sebelum kemudian berteriak dan menangis sekuat yang ia bisa. Hal ini menakuti si pemahat yang kemudian membuangnya di sebuah hutan.

Sekarang, Caasiyn bergerak tanpa arah mengitari Sabaran. Meskipun dengan aspek batunya, membuatnya bergerak dengan sangat lambat. Nampaknya, ia sudah hidup sangat lama pula. Ada ratusan kisah tentangnya di setiap pelosok negeri. Tangis dan teriakannya sudah dihapal oleh setiap penduduk di Sabaran.

Aku berharap, aspek yang mengutukku tidak akan menjadikan kondisiku yang sekarang menjadi lebih buruk. Aku tidak berencana untuk menemani Caasiyn dalam deritanya.

TRAVELSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang