Freen berjalan menyusuri trotoar, kembali ke gedung apartemennya, sambil menyesap kopinya dengan perasaan lega. Dia tidak bisa berfungsi dengan baik sebelum minum secangkir kopi setiap pagi. Karena itu pagi ini dia hampir gila karena tidak bisa membuat kopi seperti biasa. Sejak kemarin dia baru menyadari bahwa ada banyak hal sederhana yg tidak bisa dilakukannya hanya dengan sebelah tangan, termasuk membuat kopi. Satu-satunya hal yg berhasil dilakukan Freen dengan sebelah tangan adalah membuat dapurnya berantakan.
Semua ini gara-gara gadis itu. Freen mengumpat dalam hati. Freen menghentikan jalan pikirannya seiring langkah kakinya yg berhenti mendadak di tengah anak tangga di depan gedung apartemennya.
Terkutuklah dirinya. Freen melihat gadis itu berdiri di pintu depan gedung apartemennya.
Gadis itu.
Mimpi buruknya.
Malaikat kegelapannya.
Dan suasana hati Freen pun kembali buruk.
Gadis itu berdiri membelakangi Freen, menghadap interkom yg terpasang di samping pintu, menekan bel apartemen Freen berulang-ulang. Setelah menunggu beberapa detik dan tidak mendapat jawaban, dia menghela napas panjang. Tentu saja, dia belum sadar bahwa Freen tidak ada di apartemen karena Freen sebenarnya berdiri tepat di belakangnya.
Freen mengerutkan kening menatap malaikat kegelapannya yg mendadak muncul di depan matanya. Kenapa gadis itu datang ke sini?
Gadis itu masih berdiri menghadap interkom. Sebelah tangannya terangkat sekali lagi hendak menekan bel, tetapi tidak jadi. Tangannya diturunkan kembali. Dia mendesah pelan, lalu berbalik. Dan langsung terkesiap melihat Freen.
Mata gadis itu melebar kaget dan dia berdiri mematung di hadapan Freen. Freen tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap gadis yg telah menghancurkan dunianya dan membuatnya cacat dalam sekejap.
Gadis itu membuka mulut, tetapi Freen lebih cepat.
"Jangan coba-coba jatuh lagi," kata Freen tajam.
Gadis itu menatapnya dengan bingung. Lalu dia menunduk dan sepertinya menyadari apa yg dimaksud Freen. Dia berdiri di puncak tangga di depan gedung apartemen, sementara Freen berdiri di tengah-tengah tangga.
"Tidak. Aku..."
"Sedang apa kau di sini?" Freen lagi-lagi menyela, dan sama sekali tidak mencoba membuat suaranya terdengar ramah.
"Aku datang untuk meminta maaf," kata gadis itu cepat, lalu menelan ludah dan menatap Freen sambil menggigit bibir.
Freen menyipitkan mata. Ekspresinya tetap tidak berubah.
"Aku belum sempat meminta maaf. Kemarin, maksudku. Jadi hari ini aku datang untuk meminta maaf. Aku sangat menyesal. Sungguh, aku benar-benar tidak sengaja."
"Baiklah. Kau sudah mengatakannya. Sekarang pergilah," kata Freen dan berjalan menaiki anak tangga ke arah pintu depan. Dia merasa harus segera menyingkir dari posisinya yg berbahaya di tengah tangga, sebelum gadis itu jatuh lagi, menabrak dirinya, dan mematahkan kedua tangan serta kakinya.
"Aku ingin membantu," kata gadis itu tiba-tiba.
"Apa?" Freen menoleh menatapnya, dengan alis berkerut.
"Aku ingin membantu," dia mengulangi kata-katanya tadi, namun dengan suara yg lebih pelan.
"Bagaimanapun, akulah yg membuatmu menjadi seperti ini. Jadi..."