6♈

6 0 0
                                    

Tiga belas tahun Gisa dihantui bayang-bayang kepergian ayahnya. Sejak ia berusia tiga tahun, keadaan merenggut masa kanak-kanaknya. Ia tidak mengerti tentang wahana permainan anak, ia hanya mengerti tentang ibunya yang gila kerja sejak kepergian ayahnya. Gisa tidak masalah jika harus ikut dengan ibunya bekerja di sebuah salon. Sejak kecil ia mengerti bahwa banyak hal yang jauh lebih penting dari sekedar wahana permainan yang diceritakan teman-teman sebayanya. Ia mengerti bahwa semakin banyak ia menuntut pada Ibu, maka semakin banyak tekanan yang dirasakan oleh ibunya. Sejak kecil ia paham bahwa ia hanya bagian kecil dari dunia, bukan satu-satunya yang harus merasakan kasih sayang, bukan satu-satunya yang harus makan sambil berlari di taman. Ia harus mengalah pada banyak orang di dunia, yang bahkan tidak mendapatkan segalanya, termasuk kasih sayang ibu.

Sejenak ia lupa tentang kebiasaannya yang ikut ibu bekerja di salon. Saat ibunya menikah lagi. Gisa pernah berharap ayah tirinya akan membawanya ke wahana permainan anak atau sekedar makan siang di taman. Namun nyatanya kehidupannya lebih buruk dari itu. Gisa juga pernah berharap agar ia menjadi satu-satunya anak yang tidak merasakan wahana permainan, tapi sayangnya kedua adeknya merasakan hal yang sama sepertinya, bahkan lebih buruk darinya.

Penyesalan demi penyesalan seolah memojokkannya. Seharusnya ia sendirian menghadapi situasi ini, seharusnya kedua adeknya tidak perlu ada di sini, menemaninya memeluk lututnya sendiri berharap agar ibu baik-baik saja.

"Gisa?"

"Kak Aries."

Kedua bocah polos itu mendekati Aries, memeluk remaja itu dengan erat, membuang segala beban yang ada di pundak kecilnya.

"Ibu gak mau bangun, Kak," keluh Gifari.

"Nanti ibu pasti bangun," ucap Aries.

"Kak Gisa juga tadi ngomong gitu, tapi buktinya..." lanjut Gofar.

"Perbanyak doa."

Aries kembali memeluk kedua tubuh mungil itu.

"Gisa, kamu gak pa-pa?"

Gisa mengangguk, "aku gak pernah kenapa-napa. Aku sering di situasi begini."

Aries menghela berat. Langkahnya mendekati Gisa lalu duduk menyamakan tingginya dengan Gisa yang juga duduk dilantai.

"Kamu udah makan?" tanya Aries, "makan dulu, yuk. Ajak adek kamu, biar kalian bertenaga."

Gisa menggeleng dengan tahapan kosong entah kemana.

"Di situasi begini aku cuma berharap ibu gak mati. Seenggaknya kalau aku putus sekolah terus harus kerja, wajah ibu bisa tetap aku lihat biar semangat."

"Gisa..."

"Aku salah apa sih, Res," Gisa menatap Aries. Tak bisa bohong bahwa Gisa menahan tangisnya, matanya memerah menahan segala emosi yang dipendamnya. "Aku miskin, kenapa ibu harus sakit? Pundak aku gak di desain sekuat itu kan, sampai punya beban seberat ini?"

"Gisa, kita makan dulu yuk," pinta Aries.

Laki-laki itu membawa kedua adek Gisa menuju kantin di rumah sakit, sedang dibelakangnya Gisa mencoba mengikuti dengan langkah tak berdaya. Manik milik si gadis terus memperhatikan Aries yang menggenggam tangan kedua adeknya di depan. Laki-laki itu baru dikenalnya kemarin, tapi kehadirannya seolah telah lama. Keempatnya duduk di kursi panjang yang kosong, berhubung kantin tidak begitu ramai di malam hari mereka bebas memilih tempat duduk. Aries memilih untuk memesan makanan terlebih dahulu lalu kembali ke tempatnya.

"Kamu tadi manggung?" tanya Gisa.

"Iya, tapi cuma satu lagu terus aku ke sini."

"April?"

Semua Tentang AriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang