18♈

2 0 0
                                    

Rumah besar itu nampak sepi seperti biasanya. April memijakkan kakinya pada keramik berwarna putih di ruang tamu. Semalam April diomeli habis-habisan di tempat ini oleh Mamah, karena pulang jam dua malam. Untuk seukuran anak gadis tentu saja menurut Mamah itu membahayakan. Sayangnya omelan panjang itu berubah menjadi pertengkaran hebat karena April yang melawan. Seluruh asisten rumah tangga keluar dari kamarnya menyaksikan majikannya yang bertengkar di ruang tamu tengah malam.

"Mau jadi apa kamu pulang jam segini?" tanya Mamah semalam.

"Aku mau jadi apa bukannya Mamah gak akan peduli?" balas April. April menoleh, menatap mamahnya yang sedang duduk di sofa berwarna coklat dengan tatapan tajam yang sama sepertinya. "Mamah itu cuma bisa ngatur, tapi gak pernah ngerti. Pernah gak Mamah nanya apa yang April alami? Harusnya Mamah nanya biar Mamah ngerti. April bukan anak nakal seperti yang Mamah pikir. April ngerti aturan. Mamah yang gak ngerti tentang April!" Jelasnya dengan nada tinggi.

Mamah berdiri dari duduknya. Alisnya mengkerut, wajahnya penuh emosi, tidak terima dengan perlawanan putrinya. Jangan lupakan bahwa Mamah bukan wanita yang mau disanggah.

"Pintar ngelawan kamu, yah?" Bentaknya. "Kamu kebanyakan main sama orang gak benar. Teman cowok kamu yang tadi datang itu. Besok-besok Mamah kasih dia ancaman langsung biar gak temanan sama kamu lagi!"

"Udah telat. Orangnya udah meninggal. Kecelakaan pas pulang dari sini. Mamah udah gak bisa lihat dia lagi bareng April, itu yang Mamah mau kan? Puas?!," jawab April dengan suara yang bergetar.

Langkahnya mengantar gadis itu menuju kamar lalu mengunci pintunya. Gelap, itu yang ia lihat. Sayangnya keheningan yang ia inginkan tidak berhasil ia dapatkan. Di depan pintu kamarnya Mamah berteriak memanggil April, meminta putrinya untuk segera klarifikasi. Sayangnya April menutup rapat telinganya dengan guling meski samar-samar ia mendengar suara Mamah.

"April!"

"April!"

"Mamah belum selesai ngomong kok kamu main tinggal aja!"

"Makanya Mamah larang kamu bawa motor itu karena Mamah takut kamu kenapa-napa."

"Kenapa kamu gak ngerti-ngerti sih!"

Sepanjang malam ia membiarkan matanya terbuka, membiarkan Mamah memakinya di depan pintu selama setengah jam. Selama itu juga ia mendengar suara Papah yang jarang terdengar. Tidak memanggilnya, tapi membujuk Mamah untuk kembali ke kamar dan tidak berada di depan pintu kamar April sepanjang malam.

Hening, suara Mamah dan Papah berganti dengan detik jam yang menemani malam. Hanya sepersekian detik lalu April kembali mendengar berisik yang berasal dari kepalanya. Ia menutup telinganya rapat-rapat, tapi sama sekali tidak membantu apa pun. Suara itu berasal dari kepalanya, suara permohonan maaf Aries yang tidak pernah ia balas. Lagi-lagi suara itu semakin keras seiring ia berusaha melenyapkan nya. Jelas, itu suara Aries. Tidak masalah jika Aries menghantuinya seumur hidup, tapi tidak untuk rasa sesal yang saat ini menemani malamnya. Tidak untuk permintaan maaf Aries yang bergema di kepalanya. Itu terlalu menyakitinya.

April melanjutkan langkah lunglainya. Siang ini ia merasa mengantuk karena tidak tidur semalaman.

"Gak ke Sekolah kamu?"

Wanita paruh baya dengan pakaian rapih seperti biasa muncul mengangetkan April.

"April izin. Hari ini pemakaman Aries."

"Bagus! Ketinggalan pelajaran, gak lulus sekolah sekalian!" cecar Mamah.

"Apaan sih, Mah. Sekolah April juga lagi berduka, kelas April malah gak belajar. Gak masuk satu hari gak akan buat April bodoh kali!"

Gadis itu buru-buru memasuki kamar lalu menguncinya sebelum Mamah melanjutkan omelannya. April bisa menebak Mamah akan berlama-lama di depan pintunya lalu mengomelinya habis-habisan seperti semalam. Nyatanya tidak, langkah sepatu hak tingginya terdengar menjauh dari sana. Ia sampai lupa bahwa Mamahnya adalah seorang wanita karir sok sibuk yang tidak akan berlama-lama di rumah di siang hari.

April bernapas lega saat rumahnya kembali hening. Mobil yang dikendarai Mamah tidak lagi di rumah, bersama dengan tuannya yang mungkin sedang melaju menuju gedung tinggi di tengah kota. Gadis itu menatap langit biru dari balik jendela kamarnya. Tangannya menyingkirkan gorden biru agar dapat melihat langit lebih jelas.

Bagaimana dengan Aries, mereka berdua tidak lagi menikmati jalanan padat kota di toko kue samping SMP. Aries tidak lagi melihat langit biru sepertinya. Sudah lama sekali April menantikan momen itu bersama Aries, tapi tidak lagi mungkin. Yang akan ia lakukan hanyalah melanjutkan hidup dengan semua kenangan yang tertinggal di belakang. Tidak peduli seberapa banyak Aries mengecewakannya, ia sangat merindukan laki-laki Itu.

"Suara kamu bagus."

April tiba-tiba mengingat sosok remaja berseragam putih biru yang membuatnya kaget di balik panggung.

"Bikin band berdua, yuk!"

Ingin rasanya April memeriksa suhu tubuh remaja jangkung di depannya saat itu.

"Aku bisa main semua alat musik. Gitar, piano, drum, ukulele, kecapi." Aries menggantung ucapannya, "yang terakhir itu gak bisa, cuma bisa empat itu doang sih. Tapi kalau kamu mau diiringi pakai kecapi... "

"Enggak usah, makasih."

"Jadi kapan kita mulai nge-band?"

"Kita?"

"Iya," Jawabnya antusias.

"Terserah."

April tersenyum dengan cairan bening di matanya yang hampir terjatuh. Aries terlalu unik, hampir tidak bisa ditebak. Ia lucu sekaligus romantis di saat yang bersamaan. Aries juga peduli pada semua orang, maksudnya semua makhluk. Termasuk Mickey yang hampir menjadi yatim piatu akibat ulah Mamah.

"Mamah kan gak pernah suka kalau ada binatang peliharaan!" celotehnya sore itu. Aries dan April saling melempar pandangan penuh arti.

"Hamster nya cuma di kandang kok, gak akan kemana-mana juga."

"Jangan ngebantah!" Mamah melipat kedua tangannya di depan dada membuat dua remaja SMP itu bergidik ngeri. "Buang kemana kek. Mamah gak mau lihat ada binatang itu lagi."

Bagaimana, sedangkan di luar sana hujan turun dengan sangat deras. Suara petir juga ikut menghiasi langit sore, menggantikan semburat orange seperti sore hari sebelumnya.

"Biar Aries aja yang bawa pulang hamster nya," cetus Aries. Entah ide dari mana. Di keluarga Pak Karsono tidak ada yang pernah memelihara hewan. Jangankan hamster, kucing kampung yang perawatan nya mudah saja tidak pernah.

"Terserah yang penting hamster nya gak di sini. Sekalian kamu pulang juga, udah sore. Memang orang tua kamu gak nyariin?" tanyanya, "gak bertanggung jawab banget jadi orang tua," lanjutnya.

"Di luar hujan, Mah. Tunggu reda dulu," tahan April.

"Gak pa-pa April. Udah sore juga."

Hari itu Aries pulang ke rumahnya bersama binatang kecil berbulu coklat di kandang yang dilapisi kantongan plastik agar tidak terkena hujan. Sayangnya Aries yang kehujanan. Ia memang bukan tipe manusia yang akan menerobos hujan dan petir menggunakan jas hujan. Saat hujan turun ia memilih singgah di warung hingga hujan reda. Makanya April heran saat Aries menerobos hujan dengan jas hujan kuning, karena ia tau betul Aries tidak akan menggunakan jas hujan sekalipun musim penghujan tiba.

Semua tentang Aries kembali di ingatannya, tidak sedikit pun yang hilang. Menjadi asing selama dua tahun tidak berarti apa-apa, hanya menyakiti dirinya sendiri. Dan hari ini rasa sakit itu bertambah. Mungkin tidak akan pernah pulih meski waktu terus berjalan. April menutup gorden kamarnya, membiarkan dirinya menangis sendirian. Isakan nya terdengar menyakitkan dibanding tangisan semalam, karena siang ini tidak ada lagi raga yang ditangisi. Orangnya telah pergi ke tempat yang lebih jauh dan April tidak lagi bisa memeluknya. Yang paling menyakitkan dari kehilangan bukan sekedar kenangan yang tak akan terulang, tapi penyesalan yang tak berujung juga lebih menyakitkan.

Semua Tentang AriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang