🔸2. Kali Shubuh🔸

9 4 0
                                    

Tidur Kalingga terhenyak kala pundaknya di goyang beberapa kali oleh seseorang, panggilan nya mendayu terkesan tegas, namun tubuhnya memberi respon yang berbeda. Justru Kalingga angkat tinggi-tinggi sarung yang menyelimuti tidurnya semalaman. Menutupi hingga ke bawah janggut.

"Ling bangun dong! Adzan sudah berkumandang tuh. Mau menunda sampai Bapak ku murka?"

Dari suaranya saja, Kalingga tau, itu suara Irawan. Nadanya terdengar memelas. Membuat pejaman mata Kalingga mau tak mau terbuka, sedikit, "Wan, aku sholat di rumah saja." Lagipula ibadah kan bisa dilakukan nanti, tidak perlu awal waktu seperti yang Irawan sebutkan tadi, jika adzan sudah berkumandang. Masih berkumandang toh? Belum sampai sang fajar terbit. Aman.

"Kalau bisa sholat jamaah di langgar kenapa harus di rumah? Yowes kalau kau ndak mau bangun, terpaksa aku harus menelepon Ibumu. Mau bilang jika--" ( mushola ).

Mempan. Ancaman dari Irawan mampu membuat Kalingga mendudukkan diri dengan keadaan setengah sadar. Rambutnya berantakan, dengan muka tembam. Tidak tembam bagaimana jika Kalingga tertidur sejak 10 jam yang lalu. Kini laki-laki itu membuka matanya dengan sempurna, memandangi Irawan yang sedang cekikikan.

"Owalah cah kota, isone tura-turu tok. Cepat ganti pakaian mu, aku tunggu diluar." Irawan berlalu dari hadapan Kalingga yang masih termangu mengamati keadaannya sekarang. ( Dasar anak kota, bisanya tidur-tidur saja ).

Seolah tersadar dari tidur panjangnya, Kalingga baru menyadari jika dia bangun ditempat yang berbeda, kamar yang bukan miliknya, dengan penerangan yang minim pula--dari sebuah botol beling yang semalam diisi Pakde dengan minyak tanah, damar namanya. Maklum saja, ucapan Ayahnya benar, disini keadaan desa masih terpencil dan jauh dari teknologi yang mulai berkembang di kota, seperti lampu contohnya.

"LING CEPAT LHO, SUDAH MAU QOMAT TUH!"

Sudah tidak ada waktu bagi Kalingga untuk berganti pakaian selain kaos putih yang sudah ia kenakan semalaman. Bermodalan sarung warna biru laut yang membungkus tubuhnya itu, Kalingga tergopoh-gopoh berlari dari kamarnya ke luar.

Dan mendadak, Kalingga terpana dengan pemandangan diluar.

Takjub, meski diluar gelap dengan penerangan obor yang dibawa oleh Irawan saja, Kalingga masih bisa melihat cerahnya rembulan yang menerangi dari atas langit. Serta merta dengan ribuan bintang yang kerlap-kerlip tak mengindahkan pandangan Kalingga untuk beralih pandang.

"Haduh kau ini, ayo toh Ling! Bisa benar-benar ketinggalan kita."

"Iya-iya Wan."

Lalu, niat keduanya terlaksana dengan langkah berlari menapaki jalan kerakal juga obor yang mulai meredup karena tertiup angin. Melancarkan ibadah mereka sebagai kewajiban utama seorang muslim.

Di akhir kepulangan mereka, Kalingga tidak henti-hentinya menguap. Bahkan saat beribadah disebelah Irawan pun Kalingga masih seperti itu, lupa jika ia sudah tertidur sejak senja baru saja menyalami kemarin.

"Wah, pagi-pagi sudah melihat rupa ayu nya. Membuatku jadi makin suka saja." Ucap Irawan dikala keduanya dalam perjalanan pulang.

Kalingga yang awalnya tidak begitu memperhatikan, akhirnya mengikuti arah pandang Irawan karena laki-laki itu menghentikan langkahnya. Penasaran juga, Kalingga berhenti melangkah, bertanya-tanya gadis siapa pemilik rupa ayu yang dimaksud Irawan itu.

Begitu matanya mengedar, Kalingga mendapati sosok gadis yang ia kenali.

Wajahnya masih terpatri sempurna di otaknya sejak kemarin sore. Mengambil sedikit perhatian Kalingga karena perangai ajaib si gadis palak tanpa nama.

KALINGGA 1988 [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang