[ H e a r t b u r n ]
Suara Elektrokardiogram (EKG) terus terdengar pada sebuah ruangan bernuansa putih bersih. Seseorang duduk tenang di kursi tak jauh dari Bed Pasien, menikmati tiap bait kata pada buku yang dia baca, sambil sesekali melirik orang yang terlelap diatas ranjang tersebut—memastikan bahwa semuanya aman dalam jangkauan dan tidak ada reaksi buruk yang ditimbulkan.
Hingga ketenangannya tak berlangsung lama saat orang lain memasuki ruangan tanpa memberi kabar. Dia bicara tanpa menoleh, karena tahu siapa yang berani masuk sekurang ajar itu. “Tumben telat.” Komentar pertama yang dia berikan pada sosok yang baru datang.
Helaan napas terdengar lelah. “Can explain?”
“Minum dulu nggak?” Tawaran itu tak berguna. Ketika yang ditanya hanya memberi gelengan kepala dengan raut wajah tanpa minat lebih, mengarah pada penekanan akan kalimat sebelumnya untuk segera dijawab. Tipe manusia yang tidak senang berbasa-basi.
“Kondisinya belum ada perkembangan kata Dokter. Walau detak jantungnya masih ada, nggak ada kemajuan lain yang lebih baik buat sekarang.” Empat bola mata itu terpusat pada satu objek yang masih damai dalam tidurnya diatas ranjang. Untuk beberapa menit hening sejenak. Keduanya berperang dengan pikiran masing-masing, mempertanyakan banyaknya masalah yang terjadi, mencoba mencari jawaban untuk semua kebingungan yang ada. Sampai sosok yang menemani sejak awal kembali bersuara, memecah sunyi yang mencekik. “She really likes sleeping.”
Segala harapan baik selalu dilantunkan tiap waktu berputar. Ada banyak rencana indah yang telah disusun kini terabaikan begitu saja, menunggu si pemegang kendali untuk ikut andil mengurusi. Lagi, hembusan napas yang terdengar pasrah berirama dengan turunnya kedua bahu yang mendadak lesu. “Jagain selagi gua ngurus yang lain.”
“Tentu. Tanpa lo suruh sekalipun ‘dia’ bakal gua jagain.”
“Empiezan a buscarte.” Sebuah informasi yang memberitahukan pergerakan pihak lawan kian dekat. Kafssa, sosok yang memasuki ruangan, menatap lawan bicaranya yang terdiam usai dia berucap demikian.
“I known 'bout this.” Respon pasrah. Jauh sebelum Kafssa memberitahunya, dia lebih dulu menyadari hal tersebut. Orang-orang itu mulai mengintainya dari jauh, menghambat pergerakan dan beberapa rencana, tetapi untungnya dia bisa mengurus diri dengan banyaknya penyamaran. “Karena si bajingan itu ngarahin semua buktinya ke gua, jadi biarin aja mereka sampe nemuin gua dulu, walau gua pastiin mereka nggak mudah dapatin gua.”
“After that, tell the truth?”
Decakan lidah menandakan kekesalan kecil secara spontan keluar. “Of course! Lo pikir gua mau di penjara karena kesalahan yang nggak sama sekali gua lakuin?”
“Yah, who knows you wanna try it, maybe?” Kafssa menampilkan senyum tipis. Dalam satuan hingga belasan tahun hidup, senyum miliknya yang memikat belum benar-benar terlihat. Adakalanya dia hanya tersenyum sedetik, tersenyum tipis, dan kadang pula bibirnya hanya menampilkan segaris mata.
“Hilarious, dude.” Lawan bicaranya sejak awal tertawa sarkas. Bola matanya melirik Kafssa dari sudut mata, memberi kesan menjengkelkan tiada tara serta amarah yang tertahan. “Tapi nggak dulu, gua nggak minat masuk ruang dingin yang satu itu.” Balasnya lagi. Dia berdehem. Ada satu hal yang harus dipertanyakan ulang, untuk memastikan juga mengobati penasaran. Jadi dia dengan berani bertanya pada Kafssa. “By the way, kembaran lo tau soal rahasia lo ini?”
“Not yet.”
“Udah gua duga.” Cowok itu menghela napas, matanya terpusat pada Kafssa, memberi kesan penegasan serta kesungguhannya dengan berucap, “Si keparat itu harus dapat imbalan dari dosa yang dia buat, jadi, tolong pastiin rencana kita berhasil dengan semua bukti yang udah terkumpul.” Geraman marah, kepalan tangan cowok itu menandakan penekanan untuk menyurutkan emosi. Dia memejam sebentar, sampai akhirnya kembali membuka kelopak mata dan bersitatap dengan Kafssa. “Dendam gua harus dibayar tuntas.”
Kafssa mendelik. Tak menyukai situasinya, dia merasa berada dalam pihak suruhan sekarang, bukannya seseorang yang memegang kendali, lalu apa-apaan kalimat itu—seolah menuntunnya untuk berhasil tanpa adanya bantuan. Kafssa berdecak, wajahnya keras, disatu sisi memperlihatkan tempramen yang dimiliki. Hampir membuat ruangan dipenuhi aura mengerikan. “I did it not for you.”
Orang itu justru tertawa. Mengganggap santai apa yang di ucapkan Kafssa, juga seolah sudah biasa mendapat sarkastik dari mulut si tampan. “Bawel. Gua paham posisi kok, Tuan Muda Shankara yang terhormat.”
“That's ridiculous.” Dua kata yang cukup mewakili ketidaksukaan Kafssa. Cowok itu mengambil black card dari saku, kemudian meletakkannya diatas meja, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk diatasnya, sorot matanya lurus tertuju pada sosok yang ada diatas Bed Pasien. “Selain bahas rencana dan kondisi dia, jangan hubungi gua.”
“Alright. Sana pergi, gua mau jagain si can—”
“I will kill you next time.” Kafssa memotong kalimat yang enggan dia dengar dari mulut siapapun. Sialnya, orang yang menjadi partnership dengannya ini selalu menjengkelkan, sikapnya berbanding terbalik dengan kepribadian Kafssa sendiri, itu menjelaskan mengapa dia sengaja memilih untuk tak akrab lebih jauh selain untuk menukar informasi dan menjalankan vengeance pada target yang sama. Apalagi Kafssa tidak suka ketika orang lain leluasa memberi pujian pada sosok yang dia cinta.
“Ugh, itu ancaman kah? Buat gua? Serem ah.” Dalam pandangan Kafssa, wajah itu selalu terlihat bodoh sekaligus menyebalkan, sungguhan sukses membuat kekesalannya selalu meningkat pesat dalam beberapa waktu.
“Enyah aja lo!” Emosi Kafssa melambung. Walau intonasi suaranya rendah, ada tekanan makna lain dalam pengucapannya.
“Hipertensi lo naik ntar, kalem dong emosi mulu kalau sama gua.”
“Berisik.” Kafssa tak memiliki banyak waktu, jadi setelah dirasa semua masih aman dan informasi yang dia dapat masih belum berubah, dia memutuskan untuk kembali ke rumah. Pergi tanpa pamit pada si penunggu ruangan.
Sedangkan sosok yang ditinggalkan tersenyum puas, sembari menggelengkan kepala memaklumi perilaku kaku Kafssa. Dia menarik napas lalu menghembuskan perlahan, semua masih sama, apa yang dia tunggu belum membuahkan hasil. Lalu pandangannya teralihkan sebentar untuk 'dia' yang masih terlelap damai di sebelahnya. Menyayangkan garis takdir yang berlaku curang pada sahabatnya, memberi kebahagiaan yang belum sempat diterima. “Love is terrible.”
[ H e a r t b u r n ]
*Empiezan a buscarte > mereka mulai mencarimu.wanna know next part?
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartburn
Teen FictionJust a new and better version! ★ Pada akhirnya, salah satu dari sang pemilik cinta abadi harus mengalah pada untaian garis takdir, semesta mengutuk cintanya yang hadir agar tak terbalaskan--karena karma merupakan akar dari penderitaan seseorang seba...