[ H e a r t b u r n ]
Gerimis menyapa Ibukota. Memberkati setiap langkah manusia pergi. Sejuknya udara pagi tak menghambat kesibukan orang-orang. Layaknya orang dewasa yang harus pergi bekerja sekalipun badai menerjang, para murid sekolah pun merasakan hal yang sama. Ketika cuaca senikmat ini sangat cocok untuk berleha-leha justru dipergunakan untuk mengakhiri hari terakhir pembelajaran setiap minggu.
Aianna memakai sweater cokelat muda, keluar dari mobil setelah Kafssa membukakan pintu disisinya, melindungi kepala perempuan tersebut dari atap mobil. “Yakin nggak mau izin aja?” Kafssa kembali memastikan lagi setelah lebih dari enam kali bertanya selama perjalanan mereka kemari. Aianna dalam keadaan kurang sehat, suhu tubuhnya meningkat pesat, tetapi perempuan itu bersiteguh ingin mengikuti sesi pembelajaran. Kafssa awalnya memberi pengertian, Hugo juga telah memperingati, namun argumen keduanya harus kalah karena wajah memelas Aianna yang benar-benar sulit dihiraukan.
“Yakin seratus persen! Aku cuman nggak enak badan aja, bukan berarti harus nggak sekolah, kan masih bisa jalan.”
Kafssa mengangguk dua kali. Tidak akan memberi bantahan. Perempuan itu keras kepala. Mereka berjalan beriringan menuju kelas, lebih tepatnya Kafssa akan mengantarkan Aianna ke kelasnya lebih dulu, memastikan perempuan itu tak memiliki hambatan disetiap langkahnya.
“Kalau ada apa-apa kabarin.” Lagi, dia memberikan wejangan. Karena Kafssa tahu kalau Aianna selama ini bermasalah dengan dua kata 'takut merepotkan', padahal Kafssa akan sangat menantikan dirinya berguna untuk perempuan tersebut dalam situasi apapun.
Aianna tersenyum kecil, disela-sela langkahnya mereka melewati beberapa murid, dia mengusahakan bersikap ramah dengan membalas sapaan pada orang-orang yang dilewati, Aianna bahkan ragu pernah mengenal atau tahu nama mereka. Nyatanya, tiap bersama Kafssa perempuan itu akan mendapat perlakuan hangat dari sekitarnya, mungkin saja mereka agak segan dengan sosok disampingnya yang kini menghentikan langkah dan tiba-tiba menangkup wajahnya menggunakan dua tangan. Seolah hal tersebut adalah tuntutan untuk pernyataan sebelumnya. Aianna mengerucutkan bibir karena Kafssa semakin mengapit dua pipinya, dia terkekeh geli, mengangguk cepat sampai akhirnya Kafssa melepaskan tangannya. “Iya, Nalan ganteng, aku paham dan dengar yang kamu bilang.”
Kafsaa tak suka diabaikan. Maka saat Aianna justru lebih memilih menjawab sapaan orang-orang ketimbang dirinya, sangat pantas apabila dia merasa kesal.
Cowok itu menarik tubuh Aianna, merengkuh pinggangnya meski mereka tengah berjalan sampai membuat tatapan para murid perempuan iri terlihat jelas tertuju pada Aianna. Kafssa menghiraukan segalanya, kecuali kekasih menggemaskan dalam rengkuhannya ini. Ah, ada informasi yang harus dia beritahukan. “Jax setuju, kamu bisa masuk club archery minggu depan.” Sebelum membuat keputusan tersebut, ada keterlibatan antara Kafssa, Hugo dan Jax, walau pendapat Jax tidak diperlukan sebab dia hanya pihak lain yang akan menerima keputusan final dari dua orang tersebut. Kafssa dengan setengah hati akhirnya menyetujui permintaan Aianna. Daripada perempuan itu terlibat dalam perkumpulan bela diri, akan lebih baik kalau dia mengandalkan senjata. Hugo juga bereaksi sama, itulah mengapa dia menyerahkan keputusannya pada Kafssa karena tak sanggup lagi diserang rengekan Aianna.
Tampilan wajah terkejut dan senang membuat Kafssa yang melihatnya menghangat. “Seriusan!? Udah boleh? Aku boleh join archery? Kamu udah setuju berarti nggak boleh berubah pikiran!” Aianna senang luar biasa. Kedepannya dia akan lebih giat melatih diri, memikirkan sebelumnya hari-hari membosankan terus berulang, kini dia mulai bisa menyibukkan diri dengan hal berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartburn
Teen FictionJust a new and better version! ★ Pada akhirnya, salah satu dari sang pemilik cinta abadi harus mengalah pada untaian garis takdir, semesta mengutuk cintanya yang hadir agar tak terbalaskan--karena karma merupakan akar dari penderitaan seseorang seba...