07 - le soleil revient

86 14 1
                                    

[ H e a r t b u r n ]
• P A S T M E M O R I E S •

Hari itu. Kafssa melipir ke sebuah taman usai latihan basket di sekolah. Tahun ajaran kedua yang lumayan merepotkan baginya karena dimintai langsung oleh sang coach ademic menjadi bagian dalam tim basket sekolah. Ditempat tujuannya ada satu titik rahasia yang tidak semua orang tahu. Kafssa berjalan lurus ke arah kiri—pastinya usai memarkirkan motor di halaman parkir taman, dia melewati jalan setapak diiringi pekikan burung, langkahnya pelan tapi pasti.

Tidak jauh dari sana, ada sebuah sungai jernih yang menampakkan isi di dalamnya, ikan-ikan kecil bergerak riang dalam air, dedaunan yang rindang pun bergoyang mengikuti arah angin, beberapa batu besar sebagai pijakan menyebrang hanya terlihat sedikit, cukup untuk setapak sepatu—mungkin karena air mulai naik perlahan dapat menghilangkan jejaknya kemudian.

Kursi kayu panjang disana adalah bagian favorit Kafssa, dia biasa membuang pikiran buruk dan apapun yang mengganggu isi kepalanya disana. Tetapi ketidaksenangan menghampiri hatinya saat melihat ada seseorang yang telah menduduki diri disana. Dari perawakannya Kafssa mengetahui dia adalah seorang perempuan dengan rambut berwarna ginger. Cowok itu menghela napas, tempat penghilang stress yang dia punya telah diketahui orang lain, padahal dengan palang pemberitahuan kalau sekitar sini berbahaya telah sengaja dia pasang agar orang-orang menjauhi area ini.

Kafssa mendadak lesu, lebih lesu dari sebelumnya, tetapi pikiran semrawutnya hilang seketika kala mendengar suara orang bernyanyi. Menenangkan dan menghipnotis. Seperti nada yang terselip sihir sampai membuatnya terpukau ditempat. Sesaat Kafssa sadar kalau yang melantunkan melodi tersebut adalah sosok perempuan diseberang sana. Entah bagaimana dia dapat menyebrang pada arus yang lumayan kuat menggunakan gaun biru muda selutut itu.

"Bagus." Kafssa buruk soal pujian untuk kesenangan hati orang lain, terkecuali sang Ibu. Tetapi dia mengatakan kejujuran untuk sebuah bakat manis milik seseorang yang suaranya melantun lembut ke telinga.

"Kenapa melamun?"

Kafssa terperanjat kala membuka mata langsung disungguhkan kehadiran seseorang, yang menatapnya teduh. Cowoknya itu melirik kursi di seberang, dari kapan perempuan di depannya ini melangkah dari sana dan kini berdiri berhadapan dengannya. Lalu seberapa besar nyali perempuan itu dalam menyeberangi sungai yang arusnya kini terlihat lebih kuat.

Kafssa tak mau ambil resiko lebih jauh, dia menarik pinggang si perempuan untuk berjarak dari tepi sungai—menghindari resiko tergelincir dan menghantam bebatuan dibawah, menariknya lebih rapat ketika kedua kakinya melangkah mundur. Menjadikan sentuhan pertamanya terhadap orang asing yang sengaja dibatasi kini tak memiliki arti lagi. Kafssa menatap dalam diam.

"Jahat." Perempuan itu menatapnya dengan pupil melebar, seolah memberitahu kalau dia sungguhan marah. Kafssa menaikkan satu alis, tak menyukai penilaian pertama perempuan tersebut terhadap dirinya.

Diam-diam Kafssa memperhatikan keseluruhan. Bagaimana basahnya pakaian yang dikenakan si cantik, ujung ibu jari kakinya yang memerah, wajah mungil yang berekspresi kesal, bibir merah muda yang memprotes jengkel. Semua, tanpa sadar memikat ketertarikan aneh dalam dirinya, untuk kali pertama selama Kafssa banyak memperhatikan orang-orang. Tak satupun yang berhasil memberi efek menyegarkan dan seintens ini. Suara perempuan itu menarik kesadaran Kafssa pada waktu sekarang, mengomelinya seperti mereka pernah akrab. "Aku udah panggilin kamu sembilan kali buat tolongin karena kaki aku kepeleset lumut di batu, dan aku jatuh, tapi kamu nggak denger sampe akhirnya aku bisa kesini dengan baju basah." Dia menuturkan banyak rentetan kata yang satu pun sama sekali tidak Kafssa pedulikan. Titik fokusnya hanya ada pada mata dan bibir perempuan tersebut. Telinga Kafssa seolah kehilangan fungsi.

Heartburn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang