03

1K 99 8
                                    

"Be-berangkat?" Renjun tergagap. "Maksudmu aku? Kita? Bersama?"

"Kau. Kita. Bersama. Kau dan aku, pergi bersenang-senang pada akhir minggu, hal yang sangat kita butuhkan."

"Kau sudah gila, ya?"

"Nyaris. Itulah alasannya aku membutuhkan liburan akhir pekan ini teramat sangat."

"Tapi bagaimana dengan Minie?"

"Mina. Seperti isi suratnya, sesuatu terjadi pada saat-saat terakhir dan dia tak bisa berangkat. Aku baru tahu tadi saat pulang kantor. Aku marah, membayangkan akhir pekan ini akan kandas." Cengiran lebar terpampang di wajahnya. "Kemudian kau datang dan menyelamatkan akhir mingguku."

Sambil menggandeng tangan Renjun, Jeno menariknya melintasi ruangan ke arah telepon. "Telepon ibumu dan minta dia mengepak kopermu." Pria itu mengecek arloji. "Kita harus mampir di rumahmu dalam perjalanan ke bandara. Boarding pass sudah ada, jadi kita tak perlu mengantre di loket tiket. Kita bisa langsung ke gerbang pemberangkatan. Kurasa kita bisa sampai tepat waktu jika siap-siap sekarang." Jeno berhenti untuk mengambil napas. "Well, ayo telepon."

Jeno belum sadar bahwa Renjun memegangi gagang telepon yang pria itu sodorkan, tapi bukannya memencet nomor, Renjun malah menatap Jeno, melongo. "Jeno, apa kau gila? Aku tak bisa ke Acapulco akhir minggu ini."

"Kenapa?"

"Ada jutaan alasan."

"Sebut satu."

"Kerja."

"Mereka bisa mengatasi masalah-masalah itu untuk sehari. Besok ibumu bisa menelepon kantormu dan bilang kau sakit dan baru masuk lagi Senin nanti."

"Apa yang harus kukatakan kepadanya?"

"Siapa? Ibumu?" Jeno mengangkat bahu, kebingungannya tampak jelas. "Bilang saja kau akan ke Acapulco bersamaku."

"Aku tak bisa mengatakan itu!"

"Kenapa tidak?"

Benar-benar terganggu dengan kebodohan Jeno, Renjun membanting gagang telepon ke tempatnya. "Dia ibuku. Dia akan berpikir—"

"Apa?"

Renjun menggigiti bagian dalam pipinya. "Kau mungkin terbiasa pergi mendadak ke lokasi eksotis untuk liburan singkat, tapi aku tidak. Ibuku juga tidak terbiasa melihatku melakukan hal yang sangat tidak bertanggung jawab."

"Dengar, Renjun, kau akan membantuku."

"Membantumu?" tanya Renjun skeptis.

"Tiket itu hadiah dari Mina. Dia membelinya karena ada paket promosi khusus yang ditawarkan agen perjalanan itu. Tidak bisa diuangkan. Tiket itu hanya berlaku untuk malam ini, dan pulang Minggu malam. Aku harus menggunakannya, kalau tidak tiketnya hangus, sayang sekali. Apa nuranimu akan membiarkan itu terjadi?"

Renjun menunjuk Jeno. "Saat kau tersenyum memperdaya seperti itu, Lee Jeno, itu petunjuk yang sangat jelas bahwa kau memiliki rencana busuk."

"Jika kau tak percaya, lihat saja sendiri."

Pria itu mengulurkan kembali tiket-tiket tersebut. Renjun membaca paragraf yang menjelaskan aturan-aturan perjalanan tersebut; dan paragraf itu mengkonfirmasi apa yang Jeno katakan barusan.

"Aku yakin kau punya daftar gadis-gadis manis yang sangat ingin kauajak berkencan akhir minggu ke Acapulco."

"Tentu saja," balas Jeno lugas, "tapi tidak dua jam sebelum keberangkatan, dan tidak menggunakan tiket wanita lain. Lagi pula, Renjun—dan kau pasti mendapati ini sulit dipercaya—aku senang kau yang ikut, karena bersamamu aku tak perlu bermain peran."

new love [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang