08

1K 90 0
                                    

"Apa pun yang ingin kaulakukan tak masalah bagiku."

"Kau saja yang menentukan."

"Aku bebas-bebas saja."

"Kau pasti punya ketertarikan tertentu."

Sejak pulang dari pantai, Jeno dan Renjun berdiskusi tanpa ujung tentang apa yang akan mereka lakukan malam ini. Beberapa pilihan sudah dibicarakan, tapi sejauh ini belum ada keputusan yang diambil.

Mereka sudah mandi dan membersihkan diri dari pasir serta air laut. Saat ini mereka duduk di teras, menyesap koktail yang Jeno buat di bar kecil kamar, menatap cakrawala Pasifik menelan matahari raksasa merah menyala.

Pria itu mengenakan celana pendek. Renjun masih dalam jubah mandinya. Handuk dibelit membentuk turban di rambut basahnya. Kaki telanjang mereka berbagi meja koktail besi tempa.

"Jika mengabari sejam sebelumnya, dapur hotel bisa menyediakan candlelight dinner untuk kita di teras. Dengan begitu kita tidak perlu berpakaian..."

Usul Jeno luruh ketika melihat tatapan khawatir Renjun di matanya yang melebar.

"Atau kita bisa keluar?" tawar Jeno. "Ini ada daftar restoran." Dia membuka-buka buklet warna-warni. "Kau ingin makan apa. Makanan lokal atau Eropa? Makanan laut? Apa?"

"Bagaimana kalau restoran di hotel ini?"

Jeno membaca brosur yang dia bawa ke teras. "Ada masakan eropa, bintang empat, memiliki pemandangan indah ke teluk, dan live music," lapornya. "Bagaimana menurutmu?"

"Pilihan yang masuk akal. Kita bisa berjalan kaki ke sana dan tak perlu berkutat dengan lalu lintas di kota lagi."

Renjun tak merasa ingin berkunjung ke restoran yang berisik, sesak, dan banyak orang. Tapi makan malam yang intim di bawah cahaya lilin di teras jelas akan menjadi siksaan.

Renjun mengharapkan gelombang dalam kehidupannya, sesuatu yang akan mengguncangkan kedatarannya. Tapi dia tak memperhitungkan bahwa katalisnya adalah Jeno. Dia juga tidak membayangkan diterpa gelombang pasang alih-alih riak semata.

Sejauh ini, dia belum sampai mempermalukan diri sendiri, tapi berduaan bersama pria itu di tempat eksotis dan seduktif ini bisa mendorong sikap ceroboh yang akan amat dia sesali. Persahabatan mereka terlalu berharga untuk dipertaruhkan.

Tampaknya Jeno juga tidak ingin berduaan saja dengan Renjun. "Ide bagus." Pria itu menyimpan brosur itu kembali ke meja.

"Aku harus mengenakan gaun yang sama dengan yang kukenakan kemarin malam."

"Tak masalah." Jeno mengangkat bahu acuh tak acuh sambil bangkit dari kursi. "Mau minum lagi?"

"Tidak, tapi silahkan saja kalau kau mau minum segelas lagi sambil menungguku berpakaian. Aku butuh waktu lebih lama dibandingkan kau."

"Kenapa?" tanya Jeno dengan sikap bebas dan ramah, yang mengingatkannya pada hubungan mereka sebelum meninggalkan Dallas. "Kenapa perempuan membutuhkan waktu sangat lama untuk berpakaian?"

"Karena pria-pria mengharapkan wanita tampil cantik setiap saat," jawab Renjun, mengimbangi nada ringan pria itu. "Dan itu membutuhkan persiapan berjam-jam."

"Begitu, ya? Well, kau tampak sangat menakjubkan saat pulang dari pantai tadi, berantakan tertiup angin, berpasir, dan terpanggang matahari."

Mata mereka bersibobrok beberapa detik lebih lama dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Cengiran sirna perlahan-lahan.

"Terima kasih," ujar Renjun canggung sebelum masuk ke kamar mandi.

Baru sejam kemudian mereka selesai berpakaian dan siap pergi. Di atas kulit pucat yang kini agak kecokelatan, gaun putih Renjun tampak lebih spektakuler dibandingkan malam sebelumnya.

new love [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang