17

845 74 6
                                    

Renjun menghabiskan sepanjang hari Minggu bersama Jisung karena anak itu harus dititipkan ke tempat penitipan anak selama ibunya pergi. Jisung tak masalah. Dia senang bermain dengan anak-anak lain.

Kalender pekerjaannya penuh dengan jadwal pertemuan, yang biasanya membuat hari-harinya berlalu dengan cepat. Sebaliknya, hari-hari berjalan dengan sangat lambat menuju Jumat.

Pada hari Rabu, Renjun mengizinkan Jisung mengundang Chenle untuk menginap sebagai ganti Jisung menginap di rumah Chenle Jumat mendatang.

Renjun merona ketika bertanya kepada Nyonya Zhong apakah mereka bisa saling bantu. Berbohong, Renjun bilang tidak bisa pulang Jumat nanti karena sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan. Syukurlah, lewat telepon Nyonya Zhong tak bisa melihat pipinya yang memerah maupun rasa bersalah di matanya.

Jeno sangat terganggu ketika Renjun berkeras mereka tak boleh bertemu sampai 'kencan' resmi pertama mereka. Tak ingin terlupakan, pria itu menelepon setiap malam dan terkadang saat siang.

"Di mana kita akan melakukannya?"

Karena hari itu beban pekerjaannya sangat banyak, Renjun makan siang di meja. Menahan gagang telepon di antara dagu dan bahu sembari mengupas pisang, dia bercanda, "Di tempat tidur, kurasa."

"Lucu sekali. Tempat tidur di mana?"

"Hotel? Aku bayar setengahnya."

"Tidak. Kecuali kau ingin ada sobekan cek lagi di lantaimu. Bagaimana jika di tempatku? Kita bisa sekalian makan malam di sana."

"Entahlah, Jeno," Renjun menghindar.

"Aku sudah merancang menunya. Lagi pula, apartemenku tempat yang paling logis."

"Istana kenikmatan."

"Tempatku memang dibuat untuk kenyamanan."

Renjun memikirkan karpet bulu domba tebal di lantai ruang keluarga dan bak mandi air hangat dari marmer hitam di kamar mandi utama. "Kurasa begitu." Keengganan berasal dari campuran keraguan dan semangat.

"Bagus. Aku akan menjemputmu pukul—"

"Jangan, aku ke sana sendiri saja."

"Supaya kau bisa kabur dengan mudah."

"Sup micromave-ku mulai dingin."

"Pengecut!" Jeno berteriak di gagang telepon saat Renjun menutupnya.

Dia nyaris belum menyelesaikan makan siangnya saat sekretaris mengumumkan kedatangan janji pukul satunya. Shin Yuna yang datang.

"Silakan masuk." Renjun berdiri menyambutnya. "Bagaimana caramu keluar dari kelas?"

"Aku bilang ada janji dengan dokter gigi."

"Ayo duduk. Apa kabarmu?" Renjun kembali duduk di kursi di balik meja.

"Tiap pagi aku muntah-muntah."

"Sepertinya berat badanmu juga turun."

Renjun menyadari lingkaran di bawah mata gadis itu. Obat-obatan bisa mengurangi mual pada pagi hari, tapi itu komplikasi tak berarti di mata Yuna.

"Selain itu ada kabar apa lagi?"

"Kabarnya tidak begitu baik. Daddy mendesakku ikut kursus untuk mempersiapkan diri mengambil SAT." Gadis itu mengangkat kedua tangan, kemudian membiarkannya terjatuh tak berdaya di pangkuannya. "Dia memikirkan ujian masuk perguruan tinggi sementara aku memikirkan pilihan-pilihan dalam kehamilanku."

"Jadi kau belum memberitahu orangtuamu?"

"Tidak. Aku bisa mati jika mengatakannya."

"Jangan bilang begutu, Yuna. Itu tidak benar."

new love [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang