07

921 81 3
                                    

Hal terakhir yang ingin Jeno pikirkan adalah bercinta. Akan tetapi, sepertinya itu satu-satunya hal yang bisa dia pikirkan selagi bermain kartu di bawah cahaya lilin di teras kamar mereka.

Mereka tertawa dan menggoda satu sama lain, tapi dia menderita dengan perasaan bersalah karena bertanya-tanya apakah wanita itu mengenakan bra setelah berganti pakaian dengan T-shirt dan celana pendek. Dan ketika angin dingin yang bertiup dari laut membuktikan sebaliknya, dia merasa semakin bersalah karena samar-samar melihat puncak payudaranya.

Setelah mematikan lampu, Jeno berbaring kaku di sisi tempat tidurnya, memunggungi Renjun dan memaki diri sendiri karena menjadi lelaki brengsek. Hanya pria dengan karakter sangat buruk yang memiliki gairah terhadap teman dekatnya sendiri, terutama ketika wanita itu sama sekali tidak menyadarinya.

Untunglah Renjun tidak sadar. Untunglah Renjun tidak tahu Jeno setengah mati ingin menyentuh tubuh wanita itu, kendati dia lebih memilih tangannya dipotong dibandingkan melakukan itu dan menyakiti perasaan Renjun.

Untunglah wanita itu tidak tahu setiap kali melihat tanda kemerahan di leher tepat di bawah telinga Renjun, dia memiliki ingatan jelas tentang rasa kulitnya. Kendati ciuman itu hanya secepat kilat, rasa kulit Renjun meninggalkan jejak nyata di benaknya.

Bagaimanapun Jeno berusaha meremehkan arti ciuman kemarin malam, dia ingin merasakannya lagi.

Fantasi-fantasinya takkan padam. Begitu juga reaksi fisik yang timbul karena fantasi tersebut.

Akhirnya, merasa benar-benar tidak nyaman, Jeno turun dari tempat tidur, menyelinap melewati pintu teras, dan masuk ke air kolam renang teras yang mendinginkan.

...

Suara kecipak air membangunkan Renjun. Dia turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu geser yang dibiarkan terbuka.

"Jeno?"

Pria itu sedang meringkuk di ujung terjauh kolam. "Apa aku membangunkanmu? Maaf."

"Kau sedang apa?" Menyadari kebodohan pertanyaan itu. Renjun mengganti pertanyaannya. "Kenapa kau berenang selarut ini?"

"Aku tidak bisa tidur."

"Apa ada yang salah?" Renjun bergerak ke tepi kolam, menempatkan jemari kakinya yang telanjang di pinggiran.

Jeno merendam tubuh semakin dalam di kolam, sampai air mencapai dagu. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya gelisah. Kau tidur lagi saja. Sebentar lagi aku masuk."

Renjun ragu, setengah berharap pria itu mengundangnya masuk ke kolam. Akan tetapi, ketika sudah jelas Jeno lebih memilih sendirian dibandingkan ditemani, Renjun mundur ke pintu. "Sampai besok pagi, kalau begitu."

"Ya. Tidur yang nyenyak."

Keika menginjak sesuatu yang lembut, Renjun menunduk dan melihat bahwa dia berdiri di atas celana pendek yang tadi Jeno pakai untuk tidur.

Menyadari situasinya, Renjun bergegas kembali ke kamar, menutup pintu di belakangnya.

...

Keesokan paginya, Renjun tak bisa berhenti memikirkan Jeno yang berenang tengah malam tanpa pakaian. Akan tetapi, ingatan yang terus bercokol itu tidak sepenuhnya karena ada yang salah dalam otaknya. Roda nasib sedang mencandainya.

Selagi dia dan Jeno menyesap kopi di teras saat sarapan, mereka bisa melihat pasangan yang menginap di suite di bagian rendah gunung itu, melompat di kolam renang tanpa busana.

Baik Jeno maupun Renjun pura-pura tak menyadari, tapi pandangan mereka kerap kembali ke balkon di bawah mereka. Kepura-puraan itu berlangsung terlalu lama, mustahil bagi mereka untuk bercanda dan mencairkan suasana dengan tawa. Jadi mereka terus memandang.

new love [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang