13

811 73 9
                                    

Wendy belum pulang saat mereka tiba di rumah.

Dengan berani Jeno menawarkan untuk mengurus Jisung yang sudah lelah dan rewel, mandi dan naik ke tempat tidur. Anak lelaki itu menunjukkan wajah tegar saat Renjun mengoleskan salep antiseptik ke pangkal telapak tangannya yang terluka.

"Dia berusaha tegar karena ada kau," ujar Renjun kepada Jeno selagi menutup pintu kamar tidur Jisung. "Jika kau tak di sini, dia pasti sudah—"

Jeno meletakkan bibirnya ke bibir Renjun, memberi wanita itu ciuman tak terduga. Renjun tidak menyangka atau bahkan sempat mempersiapkan diri untuk itu.

Jeno menjaga ciuman itu tetap lembut dan tak menuntut, memberi Renjun kesempatan untuk menerima atau menampiknya.

Kendati wanita itu bersandar lemah pada lis kayu di koridor, walaupun ciuman itu berakibat seperti tumbukan di perut, Renjun tak membiarkan ciuman itu menjadi lebih dalam.

"Jangan, Jeno."

"Apa masalahnya dengan ciuman antarteman?" bisik Jeno di leher Renjun sementara jemarinya memain-mainkan celah di kemeja Renjun, perlahan-lahan melepaskan kancingnya dan mengusapkan buku jarinya ke payudara wanita itu.

"Biasa-biasa saja, tak berarti apa-apa." Renjun menjauh dari pria itu dan melangkah ke bagian rumah yang berpenerangan cukup serta netral.

"Jadi kita ini luar biasa?"

Selagi memasuki ruang santai, Renjun menyalahkan satu lampu lagi. "Malam minggu lalu mengubah pertemanan kita, Jeno. Apa kau masih belum bisa memahaminya, atau kau hanya berpura-pura dungu?"

"Kau yang keras kepala. Kau yang sepertinya berpikir, karena sudah bercinta, kita tak bisa tetap berteman."

"Kita memang tidak bisa!"

Renjun menengadah dan mengertakkan gigi, frustasi. "Karena aturannya tidak begitu, itu alasannya. Sekarang jadi berbeda. Semua berubah. Mengatakan ini membuatku nyeri. Aku menyesali hilangnya persahabatan kita, tapi itu tak bisa didapatkan kembali. Kita mengorbankannya untuk... untuk..."

"Untuk percintaan paling luar biasa yang pernah kita rasakan!" Jeno bisa dibilang sudah tak bisa menahan sabar. "Jadi apa masalahnya?"

Renjun memunggungi Jeno dan memain-mainkan bidak-bidak catur yang Chanyeol dan ibunya tinggalkan di meja permainan.

"Kau lelaki dan aku perempuan."

"Kalau itu aku juga tahu, Renjun."

"Masing-masing jenis kelamin merespons situasi semacam ini dengan cara berbeda."

Jeno meletakkan tangannya di pundak Renjun dan memutar wanita itu menghadapnya. "Aku tak sebodoh yang kaukira," katanya dalam nada lebih tenang. "Aku sudah merenungkan hal ini selama empat hari. Dan bisa mengambil kesimpulan. Sepertinya kau tak yakin kita bisa kembali melanjutkan pertemanan kita yang terputus sejak kejadian kemarin."

"Itu betul," ujar Renjun sedih. "Aku tak yakin."

"Well, kau salah. Kita bisa. Kita bisa melakukan apa pun jika kita mengusahakannya."

Renjun menggeleng. "Kurasa tidak, Jeno."

"Dengar," kata pria itu, bergerak mendekat dan membenamkan jemarinya di sela-sela rambut Renjun, "aku janji takkan memikirkan kejadian itu lagi jika kau juga melakukan hal yang sama."

"Kita tak bisa mengendalikan apa pun yang tiba-tiba muncul di benak kita."

"Karena alasan itulah hal yang kita perlu lakukan bukanlah kesalahan kecuali kita memelihara pikiran tersebut. Jadi kapan pun aku mulai mengingat betapa lembutnya kulitmu di kulitku, aku akan mengenyahkannya dan mulai memikirkan saham blue-chip. Atau apa pun."

new love [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang