04

999 91 1
                                    

"Sepertinya mereka pikir menyalakan lampu jalan itu buang-buang energi, ya?"

Renjun melekat di tubuh Jeno saat sopir taksi berbelok di belokan tajam dengan kecepatan yang bisa membuat siapa pun ingin menggenggam rosario. Dari yang bisa dia lihat lewat jendela kusam kendaraan rongsok ini, lanskap daerah ini merupakan dinding baru di satu sisi, dan udara kosong di sisi lainnya.

"Bersyukurlah," kata Jeno sambil menggeser sikunya yang menempel di dada Renjun, menempatkannya di antara payudara wanita itu. "Jika bisa melihat ke luar, kau akan sangat ketakutan."

Mobil itu berguncang-guncang; refleks, Renjun mencengkeram paha Jeno, berusaha berpegangan. "Kau pernah ke sini?"

"Sekali. Sudah lama. Waktu kami di SMU."

"Kami? Maksudmu Jaemin dan kau?"

"Yeah."

"Dia tak pernah bilang pernah ke Meksiko bersamamu."

"Benar. Dia memaksaku berjanji untuk tak menceritakan itu kepadamu."

"Kenapa?"

Cengiran di wajah Jeno membuat Renjun menyipitkan mata penuh curiga.

"Apa yang kalian lakukan?"

"Cowok-cowok akan selalu menjadi cowok-cowok."

Taksi yang berderak-derik itu mengangkut mereka berdua sekaligus enam penumpang lain di bandara. Mereka semua dan barang-barang bawaan mereka dijejalkan ke dalam station wagon antik berdebu itu. Musik tiup mariachi membahana di radio. Permintaan supaya si sopir memelankan volume suara tidak dipedulikan, karena begitu bayaran dinegosiasikan dan diberikan, dengan mudahnya dia melupakan bahasa Inggris.

"Kau merasa terjebak dalam iklan deodeoran, ya?" tanya Jeno kepada Renjun.

Gadis yang duduk di seberang pria itu tertawa geli. Jeno dijadikan sasaran lirikan genit gadis itu dan teman seperjalanannya, yang juga seorang gadis, sejak mereka melihat Jeno di pesawat.

Tak luput dari perhatian Renjun, mereka beberapa kali pergi ke kamar kecil di bagian belakang pesawat, melewati tempat duduk Renjun dan Jeno. Sambil lewat, mereka bermain mata dengan Jeno. Salah satu gadis-gadis itu nyaris melindas temannya saat tergesa-gesa ingin duduk di sebelah Jeno saat mereka masuk ke taksi.

"Sesak memang," kata Renjun dengan nada rendah. "Seperti di kaleng sarden."

"Tapi setidaknya sarden diminyaki dulu sebelum dijejalkan seperti ini."

"Nah, itu gagasan menarik." Komentar itu datang dari gadis yang duduk di sebelah Jeno. Selagi si gadis mendengkutkan kata-kata itu, dengan sengaja dia melihat ke bawah, ke selangkangan Jeno. Temannya tertawa penuh arti.

Untungnya kedua gadis itu turun paling dulu dalam perjalanan sirkuit hotel itu. "Kurasa kita kebagian turun terakhir," ujar Jeno penuh penyesalan.

"Sekarang tidak terlalu buruk, mereka sudah turun. Pisau cemburu di punggungku mulai terasa mengganggu."

"Hah?"

"Jangan pura-pura tolol. Kau tahu mereka ngiler melihat tubuhmu dan memandang rendah diriku."

"Sebenarnya lebih daripada sekadar ngiler," kekeh Jeno. "Payudaranya diselipkan di ketiakku—dan itu bukan tidak disengaja."

"Hei, Jeno, jika kau lebih memilih meninggalkanku di hotel dan mengejar—"

"Jangan konyol."

"Aku sungguh-sungguh. Aku ingin kau bersenang-senang dan tak merasa terpaksa harus menemaniku."

"Mereka bukan tipeku, oke? Lagi pula, aku kan sudah bilang, aku tidak mencari romansa akhir minggu ini."

"Yakin?"

new love [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang