02

1.3K 113 6
                                    

Jeno merangkul bahu Renjun. Bersama-sama mereka melangkah ke pintu masuk gedung yang menakjubkan dan bergaya itu.

Renjun tersenyum ke arah penjaga pintu saat Jeno menggiringnya lewat dan mengintari kolam air mancur di lobi atrium.

"Aku sudah nyaris menyerah," ujar Renjun.

"Untung tidak. Lama menunggu?"

"Sekitar sejam. Kau mampir untuk minum-minum dulu?"

"Tidak, aku pergi ke gym sepulang kantor."

Di lift, mereka bersandar di dinding berseberangan dan saling tersenyum. Wanita itu menatap celana pendek dan kaus tanpa lengan Jeno dengan kritis. "Gym ya? Kuharap kau tidak mengenakan pakaian semacam itu ke kantor Lee & Na. Jika demikian, aku akan merasa terdorong untuk mengkritik."

"Jika kau hanya datang untuk mencari-cari kesalahanku, sebaiknya pergi lagi saja. Kau tidak bisa membayangkan betapa buruk hari yang kualami."

"Sama denganku. Aku datang untuk meminjam gelas anggur."

"Kurasa aku bisa mencarikanmu satu." Sambil memberi Renjun cengiran lebar, Jeno membiarkan wanita itu keluar lift lebih dulu dan berjalan melintasi koridor ke arah kondominiumnya di lantai dua puluh ini.

Di pintu, Renjun berbalik menghadap pria itu. "Yakin tidak ada cewek yang menunggumu di dalam, berendam di air sabun sampai sedagu dan punya maksud khusus?"

"Kaupikir moralku sebegitu bejatnya?" Jeno pura-pura terhina selagi membuka kunci pintu dan mendorong Renjun masuk. "Hei, cewek-cewek cukup umur yang telanjang, pergi sana!" Dia berseru ke ruangan kosong. "Nuraniku ada disini!"

"Aduh, jangan sampai. Menjadi nuranimu merupakan pekerjaan yang tak ada akhirnya dan tak dihargai." Renjun menjatuhkan tas tangan ke meja depan. "Nyaris sama tak dihargainya dengan pekerjaanku saat ini."

"Kaubilang apa barusan?" Jeno menangkupkan tangan di telinga. "Catatan kekecewaan profesi?"

"Kekecewaan, menghasihani diri sendiri, dan putus asa."

Satu alis hitam melengkung terangkat "Kurasa kau butuh dua gelas anggur."

"Gelasnya kecil saja. Aku harus menyetir pulang."

"Aku ambilkan anggurnya, kita ketemu di teras, ya."

Beberapa menit kemudian, Jeno bergabung bersama Renjun di teras. Wanita itu bersandar di susunan balkon, menatap kaki langit di pusat kota, beberapa kilometer jauhnya, tapi masih tampak cukup dekat untuk di raih dan disentuh.

Matahari yang sedang terbenam, di sebelah kanan Renjun, terpantul di kaca pencakar langit yang merupakan bangunan terkenal di Dallas dan menjadi penghormatan bagi dunia arsiktetur akhir abad ke-20. Petang itu terasa sejuk, menandai awal musim gugur. Langitnya cerah, ungu bergairah di sebelah timur dan merah membara di barat.

Pemandangan spektakuler itu merupakan salah satu alasan Renjun mendorong Jeno membeli kondominium ini beberapa tahun lalu. Jaemin dulu berkata ini akan menjadi investasi tanpa risiko. Sementara Renjun lebih memikirkan sisi estetikanya.

Jeno menyodorkan segelas zinfandel. Selagi mengambilnya, Renjun berkata, "Setiap kali berada di teras ini aku pasti memikirkan Jaemin."

"Kenapa memangnya?" Jeno duduk di kursi patio, melepaskan sepatu dan kaus kaki, dan memeriksa lecet di bantalan kaki, yang tergesek-gesek saat berlatih tadi.

"Kurasa karena dia bersulang untukmu di tempat ini pada hari kau pindah ke sini, ingat? Kita membuka sebotol sampanye—"

"Sampanye hangat."

new love [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang