_kucinta dia yang cinta pacarnya__
"O my god Bian, lu ternyata cantik juga ya. Enggak. Cantik banget"
"So you wanna kiss me then?"
"Ehe sorry enggak dulu. Nggak semua yang gue puji cantik pengen gue cium."
Dua tahun berteman dengan Bian, baru kali ini gue punya kesempatan memandang mukanya dekat dalam rentan waktu lama. Bian punya ketrempilan yang mumpuni dalam hal make up, bekal yang di dapat setelah ikut kontes putra putri kampus. Makanya gue meminta dia untuk mendandani gue sekarang.
Di sofa abu-abu apartemennya itu, gue mempercayakan muka gue ke Bian. Berharap dia punya sihir yang bisa menyulap muka gue agar lebih cantik di mata Zara.
"Kalau gue... gue selalu pengen nyium apa yang gue anggap cantik. Tapi apa yang gue anggap cantik belum tentu mau gue cium." Bian bilang begitu sambil mengusap lipstik di bibirnya lalu di pakaikan ke bibir gue.
"Iih Bian! Ko pake lipstick sisaan di bibir lu si? Perhitungan bangat jadi orang."
"Hahahhaha"
"Ketawa lagi lu!"
"Bentar ada upil di idung lu."
Kalau Bianca adalah Kota di Indonesia, dia pasti adalah Jakarta. Kota yang keliatan angkuh dengan gedung pencakar langitnya, panas, padat dan selalu membuat dada sesak. Tapi kota seperti itu punya sisi kumuh, dan sebagai tempat pengaduan nasib bagi siapapun dan dari latar belakang apapun. Gue nggak suka Jakarta, tapi kota ini banyak menampung air mata gue. Pun Bian, sejak awal dia bukanlah tipe orang yang gue harapkan bisa jadi teman dekat gue. Si ekstrovert yang kayaknya bisa memakan energy gue habis. Namun kenyataan dia adalah tempat yang selalu gue andalkan untuk menidurkan segala kegelisahan.
"Coba aja gue punya muka secakep lu ya Bi, mungkin Zara nggak bakal noleh sama sekali ke pak Radit. Mungkin dia bakal klepek-klepek ama gue."
"Lu tu Cantik Tai!"
Cantik dan Tai adalah dua kata yang punya makna timpang. Dan Bian baru aja melabeli gue dengan dua kata tersebut dalam satu kalimat. Jadi sebenarnya gue ini cantik apa tai? Atau maksudnya gue cantik kayak tai?
"Gue tau lu bilang begitu buat ngehibur gue kan."
"Gue nggak ngerti kenapa lu malah mau punya muka kayak gue ketika gue sendiri nganggap lu cantik. Yang kurang dari lu itu cuma karena lu punya pacar pecundang. Gley"
"You know what.. you don't deserved someone who make you feel not worth it Gley. Jangan cinta ama orang yang bikin lu nggak cinta ama diri lu sendiri."
Di luar kaca mobil Bian, gue bisa melihat seorang pengemudi mobil bertengkar dengan ojek online, di pinggir jalan ada penjual asongan dan pengemis yang berdiri di lampu merah. Potret itu di perapik dengan back song, klaksonan kendaraan yang memekakkan telinga.
Jakarta keras. Pun Bian.
Saat ini gue pengen mukul dia karena omongannya terlalu benar.
"Auk ah Bi, gue mau dengerin lagu aja. Dari pada dengerin lu "
"Batu lu."Maki Bian. "Masi banyak ikan di laut Gley."
Dari pada memukul Bian, gue beralih memukul dasboardnya dengan jari telunjuk gue. Menyalakan radio tape, yang kemudian meneriakkan suara Sabrina Carpenter.
"Nonsense" itu lagu yang Bian bangat. Dimanapun gue mendengarkan lagu ini, gue pasti bakal mengingat gimana Bian jingkrak-jinkrak dimobilnya. Lagu yang sebenarnya bikin gue pening.
"Ganti ah, lagu lu bikin mabok perjalanan."
Bian berdecak. "Lah si bocah malah di ganti. Udah asik juga."

KAMU SEDANG MEMBACA
Anaheim
General FictionPernahkah kamu menyimpan seseorang dalam sebuah lagu? maka nadanya tidak perna mati di ingatan. kalau ada hal yang paling hangat dari selimut di kamarku, mungkin itu kamu dan matamu. Aku tak takut hilang di dalamnya. hanya takut kamu yang hilang