Bianca 2020

92 5 2
                                    

Hah? First impression gue ke Bian?

Ehmmm...

Itu adalah tahun 2020, tahun pertama gue kuliah. Gue dan Bian berada dalam Gugus yang sama saat ospek. Dia adalah mahluk paling Sksd yang perna gue temui.

"Lu pasti nulis surat cinta buat kak Wira." Gue menoleh ke balik punggung dan menemukan Cewek dengan freckles coklat di wajahnya sedang tersenyum ramah. Dia lanjut berbicara,

"Mungkin cuma gue yang nulis buat kak Lothar. Well Wira emang cakep tapi Lothar tu something."

"Okey"

Gue nggak peduli.

Tidak cukup sekali membuat gue risih, si Cewek berambut coklat ikal itu meraih papan nama Gue. "Gleysi-Dianè - Labet" Ejanya sebelum bilang "foto lu beda ya. Kayak bukan lu."

"Ck don't be annoying please." Salah satu hal yang gue nggk suka dari cewek populer itu karena mereka selalu merasa jadi pusat poros rotasi bumi. Bertindak seneenaknya kayak mereka punya kartu acces dalam segala hal.

"Nggak papa beda, dari pada nggak ada foto." Gue melirik sinis pada papan namanya yang hanya di isi nama Bian tanpa foto pengenal.

Bian ini anaknya rada serampangan. Melakukan segala hal dengan sistem dogmatis. Semauanya dia. Hari ini fotonya tidak terpasang, besoknya rambutnya tidak di kepang 10, lusanya dia tidak mengikuti kegiatan ospek. Tapi tidak ada senior yang mempermasalahkan kelakuannya. Sering kali gue melihat dia di cabut oleh kaka senior dari kegiatan orientasi.Kemudian mengiringnya keluar ruangan.

Kalau gue bilang gue nggak kepo, udah pasti gue bohong. Menjawab rasa penasaran gue, sekali gue menemukan Bian di godain sama senior itu ketika gue melipir ke toilet. Di hari berikut, mereka sudah menjadi teman satu tongkrongan yang nge vape bareng. Well, orang cakep emang selalu punya kartu acces untuk aman dari masa penindasan.

"Hai Gley, mau kemana?" Sapa Bian saat di mana dia lagi  nongkrong dengan para senior.

"Ke toilet" 

Setelah masa ospek selesai, gue kira Bian bakal lupa kalau gue adalah teman segugusnya yang sering dia ajak ngobrol saat itu  setelah jadi populer di kalangan senior. Mungkin juga lupa kalau gue adalah orang yang sering dia mintain tolong buat kepangin rambut dia tiap kali harus maju ke depan untuk memimpin yel yel setelah dipilih jadi jendril. Juga gue kira dia bakal jadi belagu. Ternyata intonasi suaranya tetap sama seperti bagaimana awalnya dia manggil nama gue.

But for the sake of God Bi, kenapa lu manggil gue depan senior-senior itu!

"Temen lu Bi?" Sala seorang senior bertanya. Gue yang masi ada di sana jadi mati gaya di omongin sama sekelompok manusia yang keren di mata mereka sendiri.

"Iya"

"Satu jurusan ?"tanya senior yang lain.

"Enggak. Dia public relation."

Iya gue jurusan public relation yang relationnya sendiri dengan orang lain berantakan.

Gue beranjak pada kalimat terahir yang berhasil menumpang di telingah gue. "Akrab bangat lu kayknya, Ko bisa lu kenal ama dia?"

Pertanyaan nya terdengar skeptis. Seolah -olah orang seperti gue mustahil berteman dengan orang seperti Bian.

Kata orang-orang , kalau gue bisa temenan ama Bian itu karena energy extrovert Bian yang secara naluriah suka mengadopsi orang-orang introvert kayak gue. Tapi kenyataan di antara kita berdua, she's more a baby.

"Nah kalau udah ada tulisan silakan masukkan uang anda, lu baru deh masukin duit lu ke dalam sini sesuai nominal duit yang lu pilih tadi."

"Wih keren ya. Tapi emang harus selalu pake cash ya masukin duitnya? Nggak bisa bayar Scan QR or Kredit card gitu?".

"Ya nggak bisalah!"

"Wesh santai dong. Gue cuma nanya ya bukan merubah udang-undang "

"Mana bisa pake Kredit card. Kalau Qr si bisa tapi ada beberapa mesin top up busway yang bisanya pakai cash aja. Lagian lu tu sebelumnya tinggal di mana si? Masa begini doang nggak tau.?

"Gue baru kali ini naik kendaraan umum Gley."

Hari itu Bian ngotot mau ikut gue naik busway ke gramedia buat beli buku. Padahal niat awal gue pengen me time. Dalam hal berbelanja gue lebih suka pergi sendiri karena lebih bebas memanajemen waktu semau gue. Tapi Bian datang merusak planing gue dan membuat gue spontan jadi tutor spesialisasi transportasi umum.

"Gley kursinya sisa satu yang kosong, kita pangkuan aja biar bisa duduk bareng."

"Gila lu! Mana boleh pangkuan!" Gue meraih tiang besi di samping gue lalu mendorong Bian buat duduk di bangku kosong busway.

"Ko nggak bisa? Kenapa?"

"Ya pokoknya ataurannya kayak gitu."

"Aneh bangat padahal buswaynya luas. Lagian kan duduknya di pangku sama gue bukan di pangkuan pak supirnya."

Gue menahan tawa di sudut bibir. Masalahnya ekspresi Bian saat bilang begitu terlalu serius untuk kalimat komedi yang keluar dari mulutnya.

"Yaudah biar gue yang berdiri lu aja yang duduk di sini."

Bian mencoba berdiri tapi gagal karena gue menahan bahunya.
"Nggah usah. Gue udah terbiasa berdiri begini sedangkan lu kan baru pertama kali naik Busway jadi lu duduk aja."

"Karena baru pertama kali, makanya gue pengen rasain sensasinya berdiri."

"Sensasi apa sih kocak! Udah lu duduk aja deh. Nggak usah aneh-aneh."

"Yaudah kita berdiri bareng."

"Duduk aja."

"Enggak."

"Duduk."

Terjadi aktivitas dorong-dorongan antara gue dan Bian yang ahirnya bikin gue kehilangan keseimbangan dan nyungsep ke depan. Berita baiknya Bian meluk badan gue waktu gue jatuh, jadi gue nggak perlu punya kenangan buruk jatuh di lantai busway. Berita buruknya, waktu gue jatuh, tangan kiri gue ternyata nggak sengaja narik kemeja  bapak-bapak di sebelah gue sampai semua kancingnya lepas.

Insiden tersebut menjadi tontonan komedi gratis buat Bian di sore hari pada  bulan  Agustus. Dia tertawa terpingkal-pingkal. Membuat bapak yang baju nya robek itu bertambah emosi. Gue dan Bian di marahin abis-abis an .

Hari itu merupakan salah satu pengalaman buruk buat gue. Tapi kayaknya berbeda dengan Bianca.

"Kata bapak -bapaknya 'JUANCOK' hahaha aduh lucu bangat." Bian memegangi perutnya begitu turun dari busway."

"Seneng lu ya di katain juancok?"

"Abis ekspresiny lucu. Apalagi pas tau kancing bajunya lepas semua. Itu kocak bangat sumpah!"

"Dasar sinting! Itu kita abis di marahin gila! Gue juga jadi nggak enak abis rusakin baju orang."

"Lagian gue nggak ngerti bapak-bapaknya ngomong apa, gue kan nggak bisa bahasa jawa. Trus soal bajunya kan kita udah ganti rugi kasi dia duit."

"Lu pikir semuanya bisa di selesai pake duit?"

"Lah yang tadi kan selesai."

"Lu emang nggak ada rasa bersalahnya ya..."

Kalau di ingat-ingat itu pengalaman menyebalkan  tapi juga lucu. Satu kata yang mengingat kan Gua Tentang Bian di tahun 2020. "Troublemaker".

"Kalau first impression lu ke gue gimana Bi?"

□□■■♡■■□□

AnaheimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang