When she like Barbie not Ken

130 6 40
                                    

Kalau lagu bisa berbentuk manusia, maka Zara adalah intro dari lagu sempurna.

I'm sure,
Ngomongin tentang Zara nggak akan menemukan ujungnya.

Gue masi mengenakan seragam putih abu-abu ketika bertemu dengan Zara. 2018 itu masa di mana Boba sedang hype. Sebagai mahluk FOMO pada jamannya, gue dan Alita sahabat gue memutuskan nongkrong di salah satu kafe cuma untuk satu minuman yang lagi naik daun itu.

Jauh dari apa yang gue dan Alita ekspektasikan, kafe pada sore hari sedang ramai-ramainya. Syukurnya ada lagu-lagu dari Pusakata yang melatarbelakangi keriuhan dalam kafe sehingga paling tidak, kita bisa membedakannya dengan pasar ikan.

Karena kafe tersebut memberlakukan sistem self service, jadi kita harus mengantri dulu untuk memesan sebelum menemukan meja. Sialnya gue dan Alita tidak menemukan tempat untuk duduk.

Di antara kebingungan yang mengeroyok gue dan Alita, saat itu lah seorang cewek mengenakan almamater hijau menegur gue.

"Lagi nyari tempat duduk ya dek? Duduk di sini aja, kita udah mau cabut ko."

Itu adalah Zara.

Baru saja beberapa saat yang lalu gue merasa terintimidasi dengan keberadaan sekumpulan mahasiswa di tongkrongan itu, ketika senyum cewek itu mengistrahatkan segala kecemasan yang tadinya gue rangkul.

Di antara temannya ada yang protes karena sepertinya "cabut" hanya keputusan Zara sendiri. Sebelum benar-benar beranjak, cewek itu berbalik lagi, "oh iya lagu kesukaan lu apa?"

"Hah? "
Wajah gue pasti mengerut saat itu. Waktu itu, di tanya lagu kesukaan sama orang asing belum tren seperti sekarang jadi gue tentu kebingungan dan cengo. Semua lagu yang ada di playist spotify gue mendadak hilang di ingatan. Satu-satunya hal yang menolong gue untuk ahirnya menjawab adalah nama rokok yang di pegang cewek itu.

"Sempurna.." jawab gue dengan tidka yakin.

"Oh iya guys.. sempurna! Itu aja."

Gue nggak mengerti apa yang sedang cewek itu dan teman-temannya bicarakan. Gue cuma menduga-duga di kepala bahwa mereka sedang memainkan sebua game.

"Makasih ya." Ucap cewek itu terahir kali sebelum menyambar tas nya dari kursi.

"Gue kira anak kuliahan itu sombong-sombong," celetuk Alita ketika menempat dirinya di depan gue. "Cowok yang pakai kacamata tadi cakep deh."

"Emang tadi ada cowok?"

"Astaga Gley.. mata lu kemana deh. Anak kuliah yang duduk disini tadi semuanya cowok kali. Oh kecuali cewek yang kasi kita tempat duduk tadi."

"Oh gue nggak liat si. Gue nggak terlalu merhatiin mereka soalnya."

Sekitar 5 menit setelah gue bilang begitu, intro lagu sempurna terdengar mengalun menyapa udara sore itu. Ketika gue memeriksa punggung gue untuk mencari sumber suara, ada cewek almamater hijau itu yang sedang memetik gitarnya di atas panggung.

"Yaampun cowok kacamata tadi lagi nyanyi Gley!"

Sama seperti tadi, kecuali cewek almet hijau, sekeliling gue terlihat seperti siaran tivi rusak.

***

S

emenjak moment di kafe, gue tiap kali di tanya mau kuliah dimana pasti jawabnya "di kampus yang alamaternya ijo."

Meskipun nggak tau nama universitasnya apa, yang penting alemtnya ijo aja. Udah.

Sesederhana itu.

Cita-cita itu tidak sampai di mulut saja karena pada ahirnya gue beneran lulus di Universitas yang Almetnya Hijau dan ada Zaranya.

AnaheimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang