Pertama kalinya Jisoo tidur seranjang bersama orang lain, di rumah orang lain. Pikiran Jisoo sedang berkelana, bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya tanpa kehadiran adik atau ibunya. Jangankan berpikiran untuk memenjarakan Nam-gil, untuk bergerak saja mustahil.
Di samping Jisoo yang sibuk menatap langit-langit, terdapat Jennie yang tengah memandangnya diam-diam. Jennie sudah melihat betapa memikat mata hasil lukisan Jisoo yang digunakan sebagai portofolio pendaftaran waktu itu. Orang dengan keterampilan melukis seindah itu, kini tidak bisa menggerakkan tangan bahkan untuk memegang kuas.
Cahaya remang-remang bulan menembus celah tirai yang menutupi jendela, itu saja cukup untuk membuat Jisoo bisa sedikit tenang. Sinar bulan itu seolah menyampaikan bahwa masih ada harapan baginya untuk bertahan dalam kehidupan. Jisoo memohon, beri saja dia satu jalan keluar, Jisoo pasti akan menuju padanya.
Jisoo tidak sengaja menoleh ke arah Jennie karena merasa rembulan tidak menarik lagi untuk terus dipandang. Mata Jisoo segera beralih pada hal lain, misalnya pada tembok yang lebih tidak menarik dari bulan.
Jennie seketika miring membelakangi Jisoo. Kini manik Jisoo beralih pada punggung Jennie. Jisoo merasa, Jennie tidak salah kalau sekarang begitu benci padanya. Sebab di sini, Jisoo sendiri merasa telah menjadi orang asing yang tiba-tiba merampas hidup Jennie sebagai putri tunggal, di mana Jennie terbiasa diperlakukan layaknya putri seorang raja.
"Aku sungguh-sungguh ... andai aku bisa pergi, aku akan pergi dari sini." Jisoo mungkin memang tidak mengharapkan suara Jennie untuk membalas, tapi Jisoo berharap Jennie tidak akan terlalu membencinya.
Jisoo tidak tahu apa penyebabnya, tapi dia merasakan kebanyakan orang seperti begitu ingin mengambil sesuatu yang bahkan Jisoo sendiri merasa dia tidak punya apa pun yang berharga.
"Nona Jennie--"
"Diamlah, kau selalu membuatku muak."
Pintu kamar mereka dibuka oleh Taeyeon yang baru selesai melakukan diskusi kritis dengan Tiffany. Tidak peduli meski lampu kamar putri-putrinya sudah mati, Taeyeon sangat perlu bicara dengan Jennie.
"Jennie-ya, kau sudah tidur?" Taeyeon menghidupkan lampu kamar itu. Dia mendapati bukan hanya sinar mata Jennie, tapi milik Jisoo juga masih terlihat segar.
Taeyeon memandang sebentar Jisoo yang seketika mengalihkan pandangan. Taeyeon sudah sangat menyadari. Dia tidak pernah bertemu Jisoo selama belasan tahun, tapi sekali bertemu langsung memberikan kehidupan sepahit ini. Taeyeon sangat menyesalinya, hal seburuk ini harus menimpa putri sulungnya.
"Apa, Eomma? Jika hanya ingin melihat Jisoo, jangan jadikan aku sebagai alasan palsu."
Seharusnya Jennie membuat Taeyeon terkejut dengan kejujuran rasa tidak sukanya ini, namun itu hanya membuat Taeyeon semakin jelas melihat bahwa putri yang paling dia percaya kebaikan hatinya ternyata selalu menutupi kemarahan selama ini.
Taeyeon membelai kepala Jennie. "Eomma ingin bertemu denganmu. Ada yang perlu Eomma bicarakan."
"Aku mendengarkan."
"Ke ruang galeri, Eomma ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Tidak ada lagi perlawanan suara dari Jennie. Dia pergi ke tempat yang ibunya inginkan. Jennie tidak lagi menyapa meski berpapasan dengan Tiffany yang hendak masuk ke kamarnya.
"Jisoo-ya, temanmu ingin bertemu. Dia ke sini malam-malam, pasti kalian sangat dekat." Akhirnya, Taeyeon bisa menarik mata Jisoo untuk menatapnya.
Jisoo langsung tahu kalau itu Seulgi. Setidaknya ada satu orang yang Jisoo kenal masih mengingat dirinya.
Taeyeon berdiri untuk segera membantu Jisoo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete: Part 2. Other Pieces ✓
FanficCita-cita itu kini menjadi masa lalu konyol yang memuakkan. Kehidupan tidak akan pernah bisa adil bagi semua orang. Satu-satunya cara membuat hidup diri sendiri adil hanya dengan bersikap egois dan menjadi yang paling berkuasa. Luka hati itu sangat...