"Sekarang waktunya istirahat."
Jisoo mendongak menatap mata Tiffany sebagai satu-satunya bentuk penahanan yang bisa Jisoo lakukan selain dengan suaranya.
"Jangan ragu mengatakan apa pun yang ada di pikiranmu padaku."
"Aku ingin mendengar masa lalu mereka. Aku hanya ingin tau, memangnya telah terjadi hal seburuk apa sehingga mereka memutuskan untuk membuangku."
Itu sesuatu yang tidak diduga oleh Tiffany akan keluar dari mulut Jisoo. Tiffany lantas tersenyum. Sedang ada banyak kekacauan di hati Jisoo. Di saat-saat seperti itu tengah berlangsung dalam hati Jisoo pun, Jisoo masih berusaha melihat situasi rumitnya dari perspektif kedua orang tuanya di masa lalu. Jisoo tidak langsung cepat-cepat menyalahkan kedua orang tuanya yang secara tidak langsung telah menyebabkan kehidupan pahit ini menimpa Jisoo.
"Tidak ada yang ingin membuangmu, kecuali ayahku." Tatapan Tiffany sampai pada Jisoo, dengan pikiran sedang mereka-ulang masa lalu.
"Ayahmu sudah meninggal. Saat itu kakakku sedang mengandungmu. Mereka belum menikah, tapi sudah merencanakan pernikahan. Kau tidak akan bisa membayangkan betapa sempurna kehidupan ayah dan ibumu saat itu. Saat kau berusia delapan bulan dalam kandungan kakakku, ayahmu harus mengikuti studi gabungan di Amerika. Ayahmu adalah ahli sains dan teknologi di KIST."
"Kau akan lahir sebulan lagi dan mereka berencana menikah setelah kau lahir. Ada kesalahan teknis di tempat studi gabungan itu dilakukan, tempat itu kebakaran. Itu akhir dari rencana bahagia yang ayah dan ibumu bayangkan. Tempat ... saat kepalamu tertembak, itu juga tempat kau dilahirkan. Ayahku tidak bisa membiarkan putrinya melahirkan sendirian tanpa seorang suami. Dia berpikir hidup kakakku akan sia-sia jika tetap mempertahankanmu. Kakakku akan kehilangan jalan karirnya dan tidak punya masa depan karena ayahku pikir, tidak akan ada pria yang mau menikah dengan seorang wanita yang sudah punya anak dengan pria lain."
"Lalu ... kenapa aku bisa tinggal bersama Hyoyeon eomma?"
"Kami tidak tau ... kenapa dan bagaimana itu bisa terjadi. Hanya ayahku dan Hyoyeon yang tau." Tiffany mengusap kepala Jisoo sekali lagi. "Aku belum meminta maaf padamu. Kejahatan ayahku tidak pantas dimaafkan. Maaf, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun terkait hal itu. Aku sungguh minta maaf. Namun, aku akan berusaha membuatmu bisa beraktivitas normal lagi. Itu bukan bentuk permintaan maafku, karena aku, kami, memang tidak pantas dimaafkan."
Jisoo sedang dalam proses membuka lebih lapang hatinya. Saat itu sepertinya Taeyeon memang tidak berdaya. Namun, Taeyeon mungkin memang tidak berdaya saat Jisoo dilahirkan dan dibuang oleh Nam-gil, tapi yang Taeyeon lakukan saat menganggap Jisoo halangan bagi Jennie, itu sangat salah. Taeyeon bukan tidak berdaya saat itu, Taeyeon memang memilih untuk menyakiti Jisoo bahkan menyuruh asistennya untuk menculik Jisoo.
Melihat bagaimana Taeyeon berusaha begitu melindungi Jennie dan jalan karir Jennie setelah Taeyeon melihat lukisan Jisoo waktu itu, Jisoo jadi paham sifat itu memang sudah turun-temurun.
"Apakah Nyonya Taeyeon yang meminta ayah kalian membunuh ibu dan adikku?"
Tiffany terkejut mendengar itu, lantas berjongkok di depan Jisoo. "Dari mana kau mendengarnya? Kakakku baru mengetahui kalau ayah kami ingin membunuh ibumu ketika tangan kanan Tae-soo oppa memberitahunya. Andai kakakku tau lebih cepat tentang rencana ayahku, dia pasti akan menyelamatkan kalian."
"Aku meragukan itu. Dia hanya peduli pada dirinya dan keluarganya. Andai dia tidak tau aku putrinya, dia pasti bersyukur kalau aku mati saat itu. Dia tidak akan membawaku ke rumah sakit. Dia hanya akan melihatku dan pulang seolah tidak terjadi apa-apa."
Tiffany memang sakit hati dan tidak terima Jisoo mengatakan itu. Tiffany sangat mengenal kakaknya. Kakaknya tidak akan tega membunuh orang atau mengharapkan kematian seseorang, apalagi Jisoo juga hanya anak remaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete: Part 2. Other Pieces ✓
FanficCita-cita itu kini menjadi masa lalu konyol yang memuakkan. Kehidupan tidak akan pernah bisa adil bagi semua orang. Satu-satunya cara membuat hidup diri sendiri adil hanya dengan bersikap egois dan menjadi yang paling berkuasa. Luka hati itu sangat...