Hati Lisa terasa membara oleh dendam, tapi juga terasa hambar, hampa, dan sepi. Dia memandang Lili yang bermain-main dengan boneka di kamar besar ini. Gadis kecil itu tersenyum. Lisa juga pernah tersenyum bahkan tertawa tanpa beban seperti itu. Namun, kini rasanya begitu berat hanya untuk bernafas.
Soohyuk menepuk pundak Lisa. Memberi isyarat agar Lisa mengikutinya. Mereka masuk ke sebuah ruangan yang bernuansa lebih gelap dan tertutup.
"Ini tempat latihanmu. Aku akan memenuhi kebutuhan materimu. Tapi, segala resiko dan akibatnya harus hanya kau yang menanggungnya. Karena kau sendiri yang memutuskan pilihanmu."
"Akan kulakukan sesuai arahan Anda. Setelah itu, hanya aku pemerannya ketika cerita balas dendamku dimulai."
Di dunia ini tidak ada lagi yang menantikan atau merindukannya. Lisa sama sekali tak keberatan meski dia akan berakhir di penjara atau binasa. Tujuan hidup Lisa hanya melenyapkan orang-orang yang telah membunuh Ibu dan kakaknya. Tanpa Lisa tahu, di dunia ini masih ada satu orang yang selalu dan masih mengharapkannya.
"Mulai besok, setiap hari, kau harus bangun jam empat pagi. Akan ada pelatih yang datang ke sini untuk melatihmu. Kau akan belajar semua pelajaran seperti di sekolah umum, kau juga akan belajar bela diri, menembak, dan memperkuat ketahananmu pada rasa sakit secara fisik. Di ruangan ini tidak perlu ada perasaan. Tapi, setiap bertemu Lili, di dalam hati dan pikiranmu harus hanya ada Lili. Kau harus menjadi perisai untuk setiap ancaman yang akan menimpa putriku. Kau mengerti?"
Sepeninggal Soohyuk, Lisa sendirian di ruangan itu. Ruangan yang sangat luas dan banyak dipisahkan oleh sekat. Ada beberapa senjata api beserta sasaran bidiknya di salah satu sekat. Namun, yang paling luas ada di bagian sekat berisi komputer dengan perangkat lengkapnya.
Soohyuk memberikan semua ini padanya pasti juga ada kepentingan di baliknya. Tidak masalah bagi Lisa. Entah apa yang Soohyuk inginkan darinya, tapi yang penting Lisa bisa membalas rasa sakitnya.
Ini hanya masalah waktu. Lisa yakin bisa melaluinya. Mungkin hanya untuk beberapa tahun saja. Saat hari puncaknya datang, itulah hari Lisa akan merasa lega.
"Permisi, Nona Lisa. Tuan Soohyuk akan mengajak Anda dan Nona Lili jalan-jalan. Ini adalah pakaian yang Tuan siapkan untuk Anda."
Entah setitik kebaikan di balik kejahatan atau kejahatan di balik kebaikan, tapi nyatanya Soohyuk menganggap Lisa sebagai bagian dari keluarganya. Hanya cara Soohyuk mengekspresikannya saja yang kaku.
"Taruh saja di kamarku."
"Eomma, Jisoo unnie, apa ini memang jalan yang benar? Apa aku akan merasa lega saat mereka yang membuat kita terpisah binasa? Pasti ada alasan kan kenapa aku masih hidup? Aku pikir itu untuk membalas mereka, itulah alasan aku masih ada di sini."
Menjadi jurnalis yang berpegang pada kebenaran dan keadilan, Lisa sudah hampir lupa pada cita-citanya yang itu. Penderitaan yang dia rasakan, membuat Lisa berpikir kebenaran dan keadilan terlalu suci untuk diperjuangkan oleh orang yang hidupnya sudah ternoda dengan kekejaman orang lain.
Mungkin Lisa memang bukan orang paling menderita di dunia, tapi Lisa akan menilai dirinya begitu. Lisa merasa memiliki hak untuk membunuh orang yang telah menciptakan penderitaan pada hidupnya. Atas nama penderitaan dan ketidakadilan itu, Lisa merasa sudah seharusnya dia membalas mereka.
"Meski aku akan berakhir di neraka paling dalam, tapi di dunia ini, aku adalah neraka mereka."
Lisa menuju kamar adiknya. "Lili-ya, kau sudah bersiap?"
"Unnie! Ayo mandi dengan Lili." Suara teriakan Lili yang menggemaskan sedikit mencairkan kehampaan yang Lisa rasakan.
Lisa menuju kamar mandi Lili, menemukan gadis itu sudah tanpa busana.
"Biar aku saja yang memandikannya."
※❆____INCOMPLETE____❆※
Sudah tepat jam empat pagi. Lisa berada di ruang latihannya sejak semalam setelah menidurkan Lili. Mata Lisa masih segar terbuka. Lisa tidak mencoba atau berusaha, tapi dia memang tidak bisa tidur. Hidupnya yang terlalu hampa membuat kantuk pun tidak terasa.
Pintu ruangan itu terbuka. Lisa seketika berdiri sebab terkejut. Soohyuk mendorong seorang wanita muda yang wajahnya sudah lebam sebagian. Manik Lisa menelisik. Dari sisi mana pun dia melihat wajah wanita itu, Lisa yakin dirinya tidak mengenalnya. Hanya saja, wajah wanita itu mirip dengan seseorang.
Lisa terdiam tegang dengan mata membola juga merasa iba ketika wanita tadi memegang kakinya memohon pertolongan. Lisa ingin mundur, tapi wanita itu memeluk kakinya lebih kuat.
"Aku mohon, selamatkan aku. Selamatkan aku darinya. Aku tidak tau siapa kalian. Aku mohon."
"Dia adalah Park Allice, putri sulung Park Sunho. Karena ayah gadis ini yang diam saja, kau kehilangan indra perasamu, kau bahkan kehilangan ibumu. Bunuh dia." Ucapan Soohyuk yang dingin dan penuh intimidasi membangunkan Lisa dari rasa terkejutnya.
"Tapi ... dia tidak--"
"Memangnya apa salah ibumu sampai pantas dibunuh? Kau pasti sudah tau, hal paling menyakitkan adalah ketika kau kehilangan orang yang paling kau sayangi. Buat Park Sunho merasakan hal yang sama!"
Allice semakin erat memegang kaki Lisa. "J-jangan. A-aku mohon. Aku tidak tau apa-apa."
Kaki Lisa bergetar sebagaimana kebimbangan yang dia rasakan. Dia memang sudah bertekad, tapi tidak menyangka rasanya akan sesulit ini untuk membunuh orang.
Soohyuk menarik rambut Allice menjauh dari Lisa. Mata Lisa tiada henti memandang wajah Allice yang dipenuhi ketakutan dan tidak berdaya. Mungkin seperti itulah wajah Lisa dulu saat preman-preman itu membunuh ibunya di depan matanya.
Soohyuk memukulnya berulang kali. Lisa tidak melepas sedikit saja pandangan matanya dari melihat Allice yang menangis dan meraung memohon ampun.
"Tuan Soohyuk! Berhenti!"
Soohyuk berhenti dengan nafas terengah-engah. Sudah menduga dia akan melihat air mata Lisa. Itu tidak meredakan ketetapan Soohyuk untuk membunuh Allice.
Soohyuk mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Kemudian berlutut di samping Allice yang terkapar di lantai. Tatapan Soohyuk yang semula masih menemukan tanda permohonan di mata Lisa, kini sepenuhnya berpusat penuh pada wajah Allice yang memohon kehidupan.
Soohyuk menekan leher Allice seraya menikam brutal dadanya berulang kali.
Lisa memejamkan matanya dengan mulutnya yang sesekali menguarkan rintihan ketakutan dan tidak tahan melihat kekejaman itu.
"Lisa! Buka matamu! Bukankah seperti ini yang kau inginkan?! Buka matamu! Koo Lisa!!"
Lisa terduduk dengan mata masih terpejam dan kedua tangan yang kini menutupi telinga. Suara tusukan pisau itu, Lisa masih bisa mendengarnya, bahkan rintihan dari Allice yang kesusahan meraup udara. Kini semua suara itu terhapus oleh teriakan Lisa sendiri.
Hai, lama tidak berjumpa, hehe.
Btw, besok kakaknya Rosé ulang tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete: Part 2. Other Pieces ✓
Fiksi PenggemarCita-cita itu kini menjadi masa lalu konyol yang memuakkan. Kehidupan tidak akan pernah bisa adil bagi semua orang. Satu-satunya cara membuat hidup diri sendiri adil hanya dengan bersikap egois dan menjadi yang paling berkuasa. Luka hati itu sangat...