Jam di dinding menunjukkan pukul setengah sepuluh, Beni menggedor-gedor pintu rumah yang memang sengaja dikunci oleh Risa. Membuat Meta langsung sigap bangkit dari duduknya, menaruh gitar yang sebelumnya berada di pangkuan untuk membukakan pintu. Cewek berpakaian sederhana dan wajah yang penuh luka itu berjalan mendahului Risa, berkata pada ibunya agar dia saja yang membuka pintu untuk Beni yang semalam tidak pulang ke rumah.
"Nggak sekolah? Rugi nyekolahin kamu!" sembur Beni tanpa peduli kalau Meta akan merasa tersinggung. Dia berjalan masuk setelah pintu terbuka, langsung melangkah menuju meja makan. "Masak, nggak, Sa?"
Risa yang sedang berdiri di depan pintu kamar Meta mengangguk saat suaminya berjalan melewati dirinya. "Iya, Mas, masak. Biar aku siapin," katanya, segera menuju dapur.
Meta yang terasa seperti tunggul masih di dekat pintu, tertekuk dalam meyakinkan dirinya sendiri untuk tak kehilangan akal sehat ketika meladeni Beni. Apalagi semalam ia harus menggadaikan ponselnya demi untuk ketentraman hidupnya dan Risa. Agar Beni tak menagih uangnya lagi disaat Meta belum mendapatkan gajinya dari Aksel, karena memang belum waktunya. Jika sering meminjam, tidak akan ada lagi uang yang bisa ia terima.
Suara dentingan piring yang beradu dengan sendok mulai terdengar, pertanda bahwa Beni akan segera makan. Meta tak ingin mendekati pria itu demi kesehatan mentalnya, hingga memilih untuk kembali ke kamar. Namun suara berat Beni menahan langkahnya di depan pintu, disaat tangannya sudah meraih kenop pintu.
"Udah makan?"
"Udah, Bapak makan aja sama ibu. Aku mau istirahat ke kamar."
"Saya nungguin uangnya, kasih sebelum kamu saya pukul lagi."
Ucapan Beni sangat menyakiti Meta dengan menanyakan uang yang akan ia gunakan untuk hal-hal tidak penting. Tanpa peduli apakah Meta sedang memiliki uang atau tidak. Ditambah lagi dengan ancaman yang selalu direalisasikan, membuat Risa cemas bukan kepalang.
Tangan Risa terulur, mendarat di bahu Beni dengan tatapan penuh harap. "Mas, Meta belum gajian minggu ini. Lagi pula uang yang ditransfer Vina udah kepake semua?" tanyanya lemah lembut, mencoba untuk tidak membuat Beni marah walau ia tahu itu tidak ada gunanya.
Decakan marah terdengar, membuat Risa menelan salivanya ketakutan. Di tempatnya, Meta mulai waspada, takut akan kemarahan Beni yang kapan saja bisa meledak. Dan yang ia takutkan pun terjadi di kemudiannya, saat hening panjang memangkas dan berlalu. Piring yang digunakan Beni untuk makan diangkat kemudian dilemparkan ke lantai, membuat utuhnya tercerai-berai.
Risa dan Meta serempak terperanjat, kaget dengan aksi Beni ditambah lagi suara benturan piring yang menghantam lantai. Meta buru-buru masuk mengambil uang itu, tidak peduli jika esok ia tak lagi bisa menghubungi teman-temannya. Dia hanya ingin Risa tetap baik-baik saja, biar dia yang merasakan betapa sakitnya.
"Kamu pikir uangnya buat apa? Kamu punya hak apa buat nanyain uang yang dikirimkan Vina ke saya?!" bentak Beni setelah berdiri dan mencengkeram dagu Risa. "Tugas kamu cuma jaga anak perempuan murahan itu, uangnya saya yang kendalikan!"
"Kalau gitu jangan usik uang hasil kerja keras Meta, Mas. Biarin dia nikmati uangnya sendiri, toh selama ini dia nggak minta uang yang ditransfer Vina ke kamu, kan?"
Satu tamparan mendarat mulus di pipi Risa, membuat empunya terdiam dalam penyesalan yang amat besar telah menikahi manusia tidak bermoral seperti Beni. Kemudian Risa menatap suaminya, laki-laki itu semakin memperlihatkan kemarahan dan keangkuhannya. Beni bukan lagi sosok lelaki yang ia kenal ketika berpacaran dulu, mereka berbeda.
"Perempuan penyakitan kayak kamu nggak usah ikut campur!"
"Aku mohon, Mas," lirih Risa, berharap hati Beni akan luluh. "Uang hasil manggung Meta di kafe jangan kamu ambil juga, biar buat dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
META 2022
Fiksi RemajaSpin off Renata Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehila...