Abnormal

2 0 0
                                    


"Ngomong-ngomong, kamu masih berminat dengan tawaran saya yang dulu?" ujar Bima kepada Singgih yang sedang merunut kolom pekerjaan di koran. Singgih hanya mengalihkan perhatiannya sebentar lalu kembali kembali ke koran tanpa sepatah kata. Bagaimana mungkin ia mempercayai orang yang menggantungnya selama delapan bulan.

"Singgih saya tidak akan bertanya dua kali. Kamu mau atau tidak?" Bima mengulangi. "Mencari pekerjaan di koran itu susah, lebih mudah kamu ikut saya, jelas, nyata."

"Kapan mulai kerjanya? Hari apa?"

Singgih meminta validasi tanpa menoleh. Ia menambahkan unsur kejelasan waktu agar tidak ada lagi penggantungan status. Karena sejujurnya, sudah lama Singgih ingin ganti profesi, tapi janji dari Bima setahun lalu mengurungkan niatnya. Akhirnya ia bersabar tetap menjadi tukang parkir. Namun hari ini kesabarannya terbayar.

"Sekarang! Kamu akan langsung mendapatkan pekerjaan tersebut sekarang jika ikut saya masuk ke dalam mobil. Nanti saya jelaskan apa dan bagaimana pekerjaannya. Tapi kita makan siang dulu, saya lapar." Bima mengusap perutnya.

Singgih tergemap, kali ini ia menoleh dan memperhatikan manusia jangkung yang berdiri di sebelahnya. Ditunggu setahun tidak ada harapan, sekalinya muncul langsung ajak kerja. Apa maunya takdir ini.

"Bagaimana?" Bima kembali menanyakan.

Singgih kembali mengalihkan perhatiannya ke koran, "saya butuh waktu untuk memikirkannya."

"Sorry Singgih, I have no time, jika kamu tidak berminat, saya akan mencari orang lain." Bima beringsut perlahan dan berbalik ke mobilnya.

"Tunggu tunggu," sergah Singgih. "Setidaknya kasih saya waktu untuk mengarahkan mobil itu keluar." Telunjuknya mengarah ke mobil yang mundur setelah belanja dari apotek.

Bima geram, "kamu ikut saya sekarang ke dalam mobil, setelah itu kamu tidak membutuhkan recehan parkiran itu lagi seumur hidupmu!"

Singgih bingung menanggapinya, ia antara ingin menghampiri mobil yang ingin keluar tersebut atau mengikuti Bima. Kakinya tidak beraturan melangkah ke sana kemari seperti anak ayam nyasar.

Akhinya ia berhenti sejenak, menarik napas lalu membayangkan betapa bahagianya Ayu jika mengetahui ia memiliki pekerjaan yang lebih bermartabat dan memberi kepastian. Ia pun melangkah mantap ke arah Bima, masuk ke dalam mobil mewahnya. Tidak ada kekuatan yang lebih besar dari cinta untuk membuat orang bertindak.

Kali ini Bima tidak membawa Singgih ke restoran padang lagi, tapi ke Ritz Carlton yang berada di pusat ibu kota. Padahal Singgih lebih ingin melihat atraksi uda-uda membawa piring banyak dalam satu lengan. Makanan Padang terakhirnya memang bersama Bima, setelahnya, ya, mi rebus lagi.

Singgih memperhatikan dua pencakar langit kembar di hadapannya saat mobilnya terhenti di depan lobi hotel tersebut. Dua orang berseragam dengan sigap membukakan pintu tempat Singgih duduk. Ada bentangan karpet merah beludru menyambutnya, mengarah tepat ke lobi hotel di bagian dalam, memastikan tamu tidak tersesat saat mencari meja resepsionis. Singgih yakin benar tempat ini bukan istana negara.

"Ayo kita makan dulu," ajak Bima. Singgih mengikuti langkah Bima ke arah dalam. Ia berbicara sebentar dengan respsionis dan sekejap saja sebuah kartu kamar sudah di tangan Bima.

"Kenapa kita makan di sini?"

Singgih mengedarkan pandangannya ke segala penjuru lobi tersebut. Tempat ini cukup memberikan impresi, ia belum pernah menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Namun, dibalik terkesimanya, ia bereaksi dengan tenang dan elegan. Kalau saja ia tidak menggunakan pakaian dekil, sendal jepit dan kalung tali berliontin peluit parkir birunya. Tidak akan ada yang sadar kalau ia dari kalangan bawah. Singgih terlihat beradab meskipun dengan segala atribut miskinnya.

KINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang