Symphony of the Forest mengalun lembut di ruangan berbentuk oval itu, syahdu mengisi. Tak ingat lagi betapa berantakannya tumpukan dokumen dan serakan buku di lantai. Si pemilik ruangan bahkan menambahkan hamaan double speaker dan aroma lavender di sudut-sudut ruangan, membuat ruangan kerja besar ini lebih mirip tempat meditasi ketimbang ruang kerja presiden.
"Tuan Presiden."
Seorang bertopi tinggi ala koki melongok dari balik pintu, topinya mencuat lebih dulu sebelum wajahnya, membuyarkan meditasi si Tuan Presiden.
"Sudah masuk makan siang."
Ujar kepala koki istana yang suka menggunakan istilah arsitokrat ala Renaissance, dampak terlalu lama belajar di Florence. "Nasi putih, sambal dan ayam goreng, Tuan Presiden?"
Tuan Presiden menatapnya cukup lama, ia belum sadar sepenuhnya dari meditasinya barusan, atau lebih tepatnya tidur siang. "Kamu membaca pikiran saya," balas si Tuan Presiden.
Secercah senyum terbaik langsung tersungging di wajah kepala koki. Ia menundukkan kepalanya sedikit dan menaruh tangannya di dada, "perfetto."
Menjadi kepala koki selama lima belas tahun menjadikan dirinya fasih bertingkah laku. Ia sadar orang yang ia layani bisa memecatnya semudah membalik tusuk sate. Namun, ia tidak sadar kalau presidennya tidak pernah peduli dengan etika, selama tidak mengusiknya, tidak akan ada korban pemecatan.
Tidak lama, seseorang bertubuh jangkung dengan perangai serius dan berkacamata kembali merusak momen meditasinya, memasuki ruangan dengan tergopoh-gopoh.
"Pak, ini apa? Kenapa menerima media tanpa sepengetahuan saya, media gosip pula."
Tidak basa basi, si pria jangkung langsung sengit dan menunjukkan sehelai kertas yang menanyakan konfirmasi kehadiran presiden untuk salah satu acara talk show TV.
Bima namanya, si pria jangkung ini, kepala sekretariat presiden. Ia memprotes presidennya karena menerima acara TV talkshow murahan tanpa melalui dia. Bukannya apa-apa, presiden harus menghadiri pembukaan jalan tol baru. Itu salah satu alasannya Bima protes. Salah duanya, ya karena itu talkshow murahan, dipandu artis murahan, dan di stasiun TV besar yang murahan.
"Masa iya?" tuan presiden tak acuh, matanya bahkan tidak menoleh ke Bima.
"Iya, kamu sudah ada jadwal di tanggal itu."
"Bukan itu, masa iya itu acara murahan?"
"Pras, ini sudah kesekian kalinya kamu begini, kalau kamu ingin mengerjai saya, boleh saja. Tapi kasihan orang-orang yang saya bawahi, tim saya! Mereka jadi sulit karenamu."
Kali ini Bima lebih personal. Mereka memang sudah berkawan sejak lama, sejak Pras masih seorang dekan sebuah universitas dan baru mulai menjajal dunia politik melalui partainya.
Saat terpilih menjadi Presiden, Pras membawa Bima masuk ke dalam istana dan menempatkannya sebagai kepala sekretariat presiden. Alasannya sederhana, agar Bima lebih mudah ditemui saat ia membutuhkannya. Bima memang lebih mirip penasihat pribadi ketimbang pembantu presiden.
"Saya tidak mempersulit mereka, saya membuat mereka ada pekerjaan, mereka terlalu malas. Terutama si Windi,...Wanda...Winda, siapa itu namanya?"
"Wandi," sahut Bima.
"Iya si Wandi, kerjaannya update status saja, dia pikir saya tidak tahu, saya punya akun palsu untuk menguntit kalian semua."
"Ya Tuhan." Bima menepuk keningnya.
"Pokoknya kamu atur saja pertemuan dengan media tersebut, acara itu bagus, rating tertingginya di dapat dari remaja, sesuai dengan target kita yang ingin mendekati generasi baru. Mereka akan jadi pemilih di pemilihan berikutnya."
"Acara itu yang nonton hanya bocah kecil dan orang-orang pengangguran yang akan memilih calon yang kasih amplop terbanyak. Lagipula, kamu pikir kamu akan terpilih lagi?"
"Kenapa tidak, undang-undang memperbolehkan seseorang menjabat presiden maksimal tiga periode."
Wajah tidak peduli terpasang di raut Bima, ia memang tidak terlalu paham dan tidak dengan politik. Baginya pekerjaan ini hanya selingan.
"Sudah sana panggil Rayhan, saya mau bicara dengannya," usir Pras.
"Dia tidak ada, sedang ada pertemuan dengan perwakilan World Bank di Marriot."
"What, kok dia pergi tanpa sepengetahuan saya?"
"Cek lagi mejamu." Ujar Bima sambil meninggalkan Pras yang langsung mengacak-acak meja kerjanya, mencari surat yang dimaksudkan Bima.
Prasasti Wiryateja memang terkenal serampangan dengan pekerjaannya. Tapi, dibalik itu ia telah mendapat rekor dunia sebagai salah satu wakil presiden termuda di dunia karena dilantik saat berusia 38 tahun, lalu di periode berikutnya ia menjadi presiden tepat saat berusia 43. Kini ia akan menghabiskan sepuluh tahun atau dua periode sebagai seorang Presiden. Dan berencana untuk maju lagi untuk yang terakhir kali dan menjadi presiden pertama di negaranya yang menyelesaikan tiga periode dengan gemilang.
Pras adalah presiden dengan kecerdasan yang luar biasa. Seorang ahli strategi yang ditakuti dan disegani lawan politiknya. Salah satu strategi terbaiknya adalah saat ia berhasil menurunkan harga pangan dan minyak yang beberapa bulan sebelumnya ia sendiri yang menaikkan. Hal yang membuat masyarakat tidak ragu memilihnya lagi. Ia menang mutlak kemarin.
Selain dari kecerdasan, Pras juga terkenal dengan kebijakannya yang pro rakyat namun tidak merugikan kelas menengah ke atas, Ya, saat mengatakan pro rakyat, itu artinya membela kaum proletariat, yang memang jumlahnya mendominasi.
Tapi, terlepas dari prestasi gemilangnya, ada agenda besar terselubung di baliknya. Sebuah agenda gelap yang menyangkut hidup mati negeri ini. Sebuah konspirasi level tertinggi, yang bisa membuat aktornya saling memakan. Sebuah perjanjian yang jika terbongkar akan membuat negara kehilangan para pemimpinnya, bisa jadi karena mati, bisa jadi karena masuk penjara. Bisa jadi mati di penjara.
KAMU SEDANG MEMBACA
KINDRA
ActionSebuah konspirasi proyek di sebuah negara, melibatkan presiden, wakil ketua parlemen, menteri, militer dan Tukang Parkir. Sebelumnya, Kun Singgih Arwan hanya seorang tukang parkir, namun takdir mempertemukannya dengan Prasasti Wiryateja, seorang pr...