Presiden adalah tentara, dan kampanye presiden adalah murni medan perang. Kedua pihak saling serang, saling membunuh karakter, dan saling menyebar hoax. Partai mereka mencurahkan energi terbesar hanya untuk membuktikan bahwa tidak ada partai lain yang cocok memerintah negeri ini.
Debat di antara mereka lebih mirip persilangan kontes popularitas dan adu argumen anak kecil, kalimatnya tidak jelas, klise dan kadang hanya terdengar kocak. Mereka berjanji untuk membangun jembatan bahkan di tempat yang tidak ada sungainya.
Tim Singgih telah membantu Pras dalam penelusuran silsilah keluarganya, mereka sedang berusaha membentuk hoax yang melibatkan anggota keluarga. Kalau saja ada anggota keluarga Pras yang pernah melakukan tindakan kriminal, seperti nyolong mangga di kala kanak-kanak misalnya, niscaya kejadian itu akan menjadi ramai dengan bumbu-bumbu penyedap yang aduhai.
Berbeda dengan Pras, ia tidak bisa melakukan hal tersebut. Ia tidak akan membiarkan tim nya menelusuri masa lalu Singgih. Karena jika terungkap, nasib Pras pun akan berakhir tragis.
Selain itu Singgih kerap menyerang Pras dengan isu kemanusiaan, tentang kegagalannya mengawal HAM di negeri ini. Ia membuka statistik kematian yang terjadi akibat Kindra meskipun tidak mendedahkan apa itu Kindra. Ia berulang kali mengatakan kalau Pras tidak siap menghadapi persoalan seperti ini.
Sedangkan Pras, ia menyerang dengan isu ras dan agama. Ia dan timnya paham kalau negara ini memberikan apresiasi yang besar terhadap agama, meskipun prinsipnya terkadang menyulitkan. Pras mengikuti strategi awal yang dirancang untuk Singgih, yaitu moyang Singgih adalah imigran yang kabur ke Belanda dan telah berganti warga negara serta menganut agama lokal.
Cara ini sempat mendulang kesuksesan di awal.
Namun, semakin sering diangkat justru membuat orang menjadi muak. Di negara yang terdiri dari banyak suku dan agama ini, mengangkat isu seperti itu hanya akan membahagiakan satu pihak, sementara pihak lainnya akan bersatu untuk menolaknya. Ditambah Singgih dengan rendah hatinya menerima isu tersebut. "Orang tua saya mungkin saja beda agama dengan saya dan juga mungkin saja berasal dari suku minoritas. Saya tidak tahu kepastiannya, karena mereka meninggal sebelum saya sempat menghapal wajah mereka."
BOOM, Singgih langsung menenggelamkan Pras, masyarakat suka sekali dengan kisah sedih yang diceritakan dengan penuh kerendahan hati. Belum lagi Singgih menambahkan perjalanan hidup bohongannya, yang berjuang dari nol hingga ke posisi saat ini. Sungguh dongeng yang membuai untuk kalangan masyarakat yang hobi drama.
Bima sempat menyarankan agar Singgih tidak kelewat batas dalam menjelek-jelekkan Pras. Namun Singgih membalas tegas, "jika Pras berhenti mengatakan kebohongan tentang saya, maka saya akan berhenti mengatakan kebenaran dirinya."
Medan perang ini sudah terlalu panas.
Di debat terakhir Singgih benar-benar tampil garang, ia dengan luwesnya menyatakan kalau pembaharuan sebaiknya dimulai dari ketidakserakahan diri sendiri dan berani menolak orang-orang yang mendekat untuk kepentingan pribadi. Tidak usah muluk-muluk ingin memperbaiki negara atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, kalau seorang presiden bisa menangani napsunya, maka secara otomatis kehidupan masyarakatnya akan membaik.
Jawaban yang tidak muluk-muluk tersebut membungkam Pras dan pendukungnya yang selalu meninggikan program tanpa pernah mengoreksi dirinya sendiri. Penduduk negerinya sudah muak dengan hal-hal yang tidak logis dan janji manis.
Debat kedua kubu ini tidak hanya terjadi di televisi dan ranah elit. Tapi juga terjadi di warung kopi, pangkalan ojek, sampai di dalam angkot. Pelakunya bermacam-macam jenisnya, dari ibu-ibu yang baru pulang dari pasar dengan daster lebar dan bersandal jepit, hingga anak muda usia tanggung yang baru baca judul berita tapi sudah serasa mengetahui isi dunia, tidak lupa pemuka agama dan umatnya yang entah bagaimana ikut memanfaatkan panggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
KINDRA
AksiSebuah konspirasi proyek di sebuah negara, melibatkan presiden, wakil ketua parlemen, menteri, militer dan Tukang Parkir. Sebelumnya, Kun Singgih Arwan hanya seorang tukang parkir, namun takdir mempertemukannya dengan Prasasti Wiryateja, seorang pr...