Cinta Proletarian

17 0 0
                                    

Sementara Pras dan pembantunya melakukan rapat gelap, Singgih masih bergelut dengan nasibnya di sebuah blok yang disesaki oleh masyarakat kelas bawah.

Komplek hunian padat penduduk tersebut bagaikan kantong di tengah area perumahan elit pusat kota. Rumah-rumah dengan gaya arsitektur yang sama, pintu ketemu pintu, saling berdempet dan berhimpitan. Liuk gang nan bercabang membuatnya nampak seperti labirin Butterfly Ningbo jika dilihat dari atas, hanya saja dengan bonus sampah dan aroma bau pesing.

Hanya dinding setebal satu batu bata yang membatasi mereka satu sama lain. Makanya tidak aneh jika suara-suara gaib mendesah atau gerompyang hempasan produk rumah tangga akibat ricuh suami istri kerap tersiar. Tidak ada rahasia di kampung ini.

Singgih berjalan menyusuri lorong sempit tersebut dengan wajah khasnya yang lusuh dan layuh. Ia seperti sedang menghitung langkah, menunduk sepanjang lorong komplek. Ia hanya akan mengangkat kepalanya jika berpapasan dengan motor atau berpapasan dengan,-

"Singgih," Indira Ayu, kembang kampung yang paling manis di hunian yang mirip TPA ini tiba-tiba muncul di hadapannya dan menyapanya

Singgih terkesiap, sudah hampir dua minggu dirinya tidak bertemu atau pun melihat Ayu.

"Ha...hai." Balasnya dengan bibir bergetar, kesan lusuh dan layuh pun runtuh seketika, terganti senyum terkembang.

"Baru pulang kerja?" tanya Ayu.

"Iya baru pulang markir, bukan kerja." "Sama saja," Ayu tersenyum tipis.

Perempuan yang berdiri di hadapan Singgih adalah bintang di hidupnya, bisa dilihat tapi tidak tergapai. Sudah lama ia memujanya, berharap bisa sekadar menawarkannya makan siang atau mengajaknya nonton bioskop. Tapi alarm dalam dirinya selalu berbunyi saat ia akan beraksi.

"Sadar diri Singgih, kerja masih jaga parkiran saja maunya yang mulus-mulus."

Akhirnya Singgih selalu mundur lagi. "Baru pulang kerja?" tanya Singgih. "Enggak, habis dari ketemu kawan."

"Oh, kawan yang mana?"

"Pertanyaan apa ini," Singgih menyerapah dalam hati. Kenapa juga ia harus menanyakan hal personal begini.

"Kawan yang biasa kumpul. Memangnya Singgih kenal teman saya?"

"Pernah lihat saja."

Singgih serasa ingin segera memasukkan dirinya sendiri ke dalam suatu lemari dan menguncinya rapat-rapat. Ia malu dengan kegugupannya yang terpancar begitu jelas.

Ayu menyungging senyum, tingkah Singgih yang selalu salah tingkah merupakan hiburan gratis baginya. Biasanya jika Singgih sudah seperti ini, Ayu akan melemparkan peluru-peluru mautnya, senyum merona dengan tatapan anak kucing minta dibawa pulang. Namanya perempuan, memelihara penggemar adalah sebuah kewajiban.

Darah Singgih berdesir cepat, pandangannya dilempar ke sana kemari karena tidak kuat melihat tatapan anak kucing tersebut. Ia benci adegan ini, tapi di sisi lain, ia menikmatinya.

"Singgih, ada yang mau dibicarakan?" Ayu tiba-tiba melesat.

"Hah?"

"Iya, soalnya dari tadi kamu diam saja, tidak kasih saya lewat juga, hanya matamu yang berputar-putar ke sana kemari," terang Ayu.

Astaga! Sudah berapa menit ia salah tingkah, sampai-sampai tidak sadar sudah menghalangi Ayu untuk melintas.

"Eh, tunggu, tapi kan dia tidak segemuk itu," pikir Singgih setelah menyadari jalan gang ini cukup luas untuk disisipi seorang Ayu.

KINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang