Kun Singgih

9 0 0
                                    

Tukang parkir liar, pekerjaan halal yang kerap di cap maling berkedok peluit. Kelihaiannya yang bisa tiba-tiba muncul minta uang serta keahliannya dalam mengokupasi trotoar sukses mengukuhkannya sebagai hama di dunia transportasi publik. 

Jika saja penegak hukum negara ini mau bekerja sedikit saja, niscaya butuhratusan penjara baru untuk menampung mereka. Bagaimana tidak, pekerjaan ini sudah menjadi cita-cita masyarakat kelas bawah. Tinggal duduk, pasang tampang sangar, mulut sumpal peluit, sentuh kendaraan yang mau keluar, dua sampai lima ribu pun masuk kantong. Itu halal, mereka tidak merampok, hanya meminta. Salahnya mau memberi.

Kun Singgih Arwan, salah satu tukang parkir yang menguasai lahan di sebuah apotek kecil di selatan ibu kota. Tampilannya lusuh dengan rompi hijau yang sudah sedikit menguning dan peluit biru bertali kur melingkar di lehernya. Tubuhnya tinggi namun kurus, tegap namun tampak kurang gizi. Rambut pendek acak-acakan yang terkombinasi dengan kumis jenggot bercabang berantakan mempertegas jati dirnya sebagai kaum miskin ibukota.

Bermodalkan ijazah sekolah menengah pertama, Singgih hijrah ke ibu kota delapan tahun lalu. Menjadi tukang parkir adalah satu-satunya peluang yang ia miliki. Profesi ini sudah ia geluti sejak masih di kampung halaman, namun karena semua trotoar dan bahu jalan di sana sudah dikuasai taipan tukang parkir, ia pun hijrah.

Berbeda dengan impian semua orang yang ingin menjadi wong sugih saat hijrah, Singgih hanya mencari kehidupan. Asal bisa makan hari ini, itu sudah lebih dari cukup.

Namun, seperti siang-siang lainnya, siang ini pun dia terancam puasa lagi. Sudah lewat jam dua belas namun baru lima belas motor yang datang dan pergi di apotek tempat Singgih bertugas. Semakin hari manusia tambah sehat, ini tidak masuk akal, pikirnya.

Ia adalah salah satu orang yang berdoa agar banyak orang yang sakit, sehingga banyak yang datang membeli obat. Namun kenyataannya, sudah beberapa hari ini tidak banyak yang datang. Padahal seharusnya kepadatan penduduk kota sejalan dengan tingkat kesehatan yang rendah. Maksudnya, tidak mungkin orang menjadi sehat jika tiap hari mengonsumsi CO2 di jalan, kan? 

Langkah gemulai seorang wanita di kejauhan membuat Singgih berdiri, ia berjingkat berusaha melihat wanita tersebut yang timbul tenggelam di kerumunan orang yang lalu lalang. Matanya memicing menghindari nyalang matahari yang berhadapan dengannya.

Walaupun dari kejauhan, ia bisa menebak wanita itu adalah pujaannya yang selama ini bertengger di hati. Ia bahkan punya altar pemujaannya di kontrakannya, berupa foto-fotonya yang ia ambil secara diam-diam. Singgih hanya tersenyum saat wanita tersebut sudah benar-benar hilang dalam kerumunan. Tiba-tiba ia lupa kalau lagi lapar.

Tidak lama sebuah mobil SUV hitam mewah membuyarkan lamunan Singgih, ia berhenti tepat di depan apotek namun pemiliknya tidak ke apotek, melainkan ke mini market di sebelahnya.

Tidak lama berselang, sang pemilik kembali dengan menenteng belanjaan. Singgih dengan sigap berdiri dan meniup peluit birunya. Ia siap melancarkan aksinya.

"Yak..terus..terus..terus." 

Tangan Singgih lihai mengarahkan agar mobil tidak menabrak tiang di belakangnya, yang sebenarnya jaraknya hampir setengah meter dari mobil tersebut. Yang tidak mungkin tertabrak meskipun si sopir SIM nya nembak.

Singgih berlari memutari mobil tersebut, lalu berdiri mematung di sebelah kaca mobil depan, tapi yang terbuka justru kaca belakang, oh iya, mobil semewah ini yang duduk depan pasti sopir.

"Mau apa kamu?" si pemilik bertanya ketus.

"Parkir pak."

"Parkir apa! Saya tidak ke apotek."

KINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang