Istanbul

1 0 0
                                    

Singgih terlihat sangat tertekan dengan penjara mewahnya ini. Meskipun ia terlihat lebih gemuk dan bersih, tapi pikirannya tidak bisa terlepas dari Ayu, dan semakin ia ingat, semakin mual perutnya, serasa ingin muntah, dia muak dengan dirinya sendiri yang telah ingkar janji.

Mereka baru saja akan memulai kisah cintanya, tapi takdir gila ini tiba-tiba datang dan menyeret Singgih tanpa permisi, menenggelamkannya dengan sopan dalam konspirasi ini. Siapa sangka, kisah cintanya pun setragis lahan parkirnya yang semakin sepi pengunjung.

Singgih membayangkan betapa Ayu marah dengan kepergiannya secara mendadak, tanpa surat, tanpa sepatah kata pun. Tidak ada orang normal yang akan baik-baik saja saat yang dicinta pergi setelah di malam sebelumnya membuai dengan janji manis masa depan dan cinta tak terbatas. Singgih ingin marah kepada Bima, tapi ia justru lebih membenci dirinya sendiri yang tidak berdaya.

Suara derit pintu membuyarkan lamunan kekecewaan Singgih, dua orang masuk ke dalam tanpa permisi, salah satunya si pria besar yang kemarin bersama Bima. Pria yang satunya lagi langsung mengambil tempat di ruang tamu dan membakar rokok. Singgih melangkah keluar dari kamarnya dan memperhatikannya dengan seksama. Wajahnya familiar.

"Kamu Kun Singgih Arwan?" Tanyanya kepada Singgih yang termangu di depan kamarnya.

"Memangnya siapa lagi. Hanya ada satu orang di sini sejak kalian mengunci saya tiga hari yang lalu!" Singgih menyindir keras.

"Nama saya Rayhan, saya yang akan menyiapkan kamu agar kamu menjadi layak dalam bursa pencalonan presiden"

Singgih berjalan mendekatinya, "mana Bima?"

"Dia sibuk."

"Tsk, dasar penipu."

"Kita akan berangkat satu jam lagi, siapkan barang-barangmu." Rayhan agaknya tak peduli dengan segala kekesalan Singgih. Ia tak ada waktu untuk mengurusi mood warga kelas dua ini.

"Berangkat kemana?"

"Istanbul. "

"Ke mana?"

"Turki." Jawaban Rayhan membekukan Singgih, dia pernah dengar nama Turki dulu sekali, saat masih belajar Geografi. Saking sudah lamanya, butuh waktu lama baginya untuk memahami kalau Turki itu nama sebuah negara, bukan nama ayam kalkun.

"Kenapa harus ke sana?" Alis Singgih bertautan kebingungan.

"Kita akan menghadiri Humanitarian Summit, kamu akan datang sebagai senior wakil presiden bagian kebijakan dan strategi sebuah organisasi kemanusiaan internasional."

Wajah Singgih melongo mendengarnya. Ia bingung, bahasa apa yang barusan digunakan Rayhan.

"Kamu ngomong apa tadi?" tanyanya dengan alis yang semakin kencang bertaut.

"Intinya, kami memutuskan untuk membuat latar belakang dirimu sebagai ahli di bidang kemanusiaan. Paham?"

Rayhan melanjutkan. Singgih tetap tidak paham. Tidak paham mengapa mereka memilih hal serumit itu untuk alibi latar belakangnya. Kenapa tidak sebagai ahli dunia parkir internasional, setidaknya ia menguasai sedikit bidang tersebut.

"Sekarang berkemas dan temui saya di lobi tiga puluh menit lagi." Rayhan bangkit berdiri dari tempat duduknya dan melemparkan sebuah amplop besar berwarna coklat.

"Passpor, SIM, KTP, Akta Kelahiran, Ijazah, Sertifikat, segala hal yang terkait dengan masa lalu barumu ada di dalamnya, simpan baik-baik, media suka menanyakan hal-hal tersebut."

Singgih mengambil amplop tersebut dan mengeluarkan isinya, sementara Rayhan dan pria besar berjalan menuju pintu keluar. "Setengah jam!" Teriak Rayhan mengingatkan tanpa menoleh.

KINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang