.
•
•
Di tengah malam yang dingin, seorang anak laki-laki 9 tahun tengah menggendong adiknya yang masih terlelap di punggungnya.
Di depan anak laki-laki itu ada neneknya yang berjalan cukup cepat membuat dia sulit menyamakan langkahnya.
Dia tidak mengerti saat neneknya itu memintanya untuk bangun dan ikut bersamanya juga membawa adiknya. Padahal ini sudah larut dan jalanan rawan sekali, dia takut keluar di malam begini. Apalagi yang dia bawa adalah anak kecil juga seorang nenek.
Dia kan belum bisa berkelahi.
"Nenek..." Panggilnya pelan
"Iya cucu nenek, kenapa?" Sang nenek mensejajarkan jalannya dengan cucu kesayangannya itu, sesekali menahan cucunya yang lain di punggung kakaknya.
"Kenapa kita keluar malam? Iwoo, belum bisa bela diri buat lawan penjahat,"
Sang nenek tersenyum dengan perkataan cucunya. Malang sekali nasib mereka.
"Kita ke rumah Kakak Sung, mau menginap di situ, Iwoo mau kan?"
"Mau!"
"Ini kita mau ke sana, ayok! Iwoo masih kuat kan gendong Unhak?"
Dia eratkan gendongan pada sang adik yang sama sekali tidak terusik dengan semua gerakan yang dia buat ataupun angin dingin.
•
.
•
"Maaf sudah merepotkan kalian, aku hanya takut mereka mendengar ayah dan ibu mereka bertengkar keras tadi." Sang nenek mulai mengeluarkan air matanya setelah tadi ditahan cukup lama agar cucunya tidak mengkhawatirkan dirinya yang menangis dan bertanya kenapa.
Wanita yang juga seorang ibu memeluk erat si nenek dan ikut menangis, "tidak apa nek, saya selalu menerima Iwoo dan Unhak di sini, mereka anak yang baik. Kalaupun bisa, saya akan menjaga mereka hingga dewasa."
Suami dari wanita itu ikut menepuk punggung si nenek, "kami akan selalu ada untuk ibu, Riwoo juga Woonhak."
"Terimakasih, kalian keluarga yang sangat baik!"
Anak kecil yang berniat memberitahu bahwa teman-temannya sudah tertidur dan tidak punya teman bermain, malah mendengar percakapan yang tidak sepatutnya didengar olehnya.
"Mama..." Anak itu keluar dari tempat persembunyiannya dengan membawa mainan berbentuk motor menuju ibunya.
"Astaga, Sungho! Sejak kapan kamu di situ, nak?" Dipeluknya anak tunggalnya dengan erat, sedangkan anak itu kebingungan melihat nenek dari temannya yang menangis.
"Kenapa nenek Iwoo menangis? Papa tadi bilang apa, apa Iwoo akan tinggal dengan kita?!"
Si nenek mengelus lembut pipi anak itu dan tersenyum kecil sambil tangan satunya menghapus sisa air mata di pipinya, "Sungho mau Iwoo sama Unhak tinggal di sini?"
Matanya langsung berbinar mendengar yang baru saja diucapkan nenek, "mau!!"
Sang ayah ikut bergabung, dengan berlutut di depan anaknya yang telah diturunkan oleh istrinya, menatap dengan mata resah dan khawatir.
"Kalo Iwoo sama Unhak tinggal di sini, Sungho harus mau berbagi ya? Nanti Papa dan Mama juga sayang sama mereka, mau kan Sungho berbagi Papa dan Mama?"
Untuk anak usia 9 tahun dia sudah paham dengan maksud arah pembicaraan ini. Ayahnya mengatakan soal kasih sayang yang mungkin akan terbagi jika teman dan adiknya tinggal bersama.
Namun, dengan mantap anak itu berucap, "Sungho mau berbagi. Sungho berbagi tempat tidur, berbagi mainan, berbagi makanan, berbagi Papa Mama! Iwoo boleh, Unhak boleh!!
Ayah, Ibu, serta Nenek tidak bisa menahan air mata mereka untuk kedua kalinya.
Sungho, anak ini... Benar-benar dewasa.
•
•
.