.
•
•
"MAMA, KAK SUNGHO AMBIL SEPATU UNHAK LAGI!!"
"PINJAM SEBENTAR, NANTI PAKE SEPATU KAKAK YANG DI SITU!!"
Sungho berlari ke bawah dengan menenteng sepatu berwarna putih dan memakainya di sofa dengan senyum.
Sang ibu yang tengah menyiapkan sarapan hanya bisa menggeleng melihat kejadian yang selalu terjadi di pagi hari dengan alasan berbeda-beda.
"Mama ish!!" Si bungsu menghentakkan kakinya menuruni tangga, semakin kesal setelah dia melihat wajah mengejek dari sang Kakak.
"Sudah biarkan Kak Sungho pake hari ini, toh Unhak juga pake punya Kak Sungho kan?"
Si bungsu masih tidak terima dan menduduki tempatnya di meja makan dengan wajah memelas meminta ibunya agar bisa memberitahu sang kakak.
"Tapi-"
"Kakinya Unhak dengan Kak Sungho itu sama ukurannya, jadi wajar saja kalau kalian mau tukar-tukaran sepatu, Mama juga tidak masalah. Mama masalahnya kalau kalian ambil punya Riwoo, mana pas!"
Si tengah yang sudah ada menemani ibunya menyiapkan sarapan menatap tajam, "aku di sini kalau Mama lupa,"
Menggoda anak tengahnya adalah hobi yang paling menyenangkan, dia tidak bisa untuk tidak melakukan itu setiap hari.
Woonhak hanya bisa pasrah melihat Sungho, kakaknya, sedang berjalan ke meja makan menggunakan sepatu miliknya yang sudah terpakai sempurna.
Pundaknya ditepuk, "jangan begitu, nanti Papa belikan yang sama persis."
"Bukan itu, itu pemberian nenek, Papa."
"Maksud Papa itu beli buat Kak Sungho, nanti Unhak ambil lagi sepatu Unhak." Sungho datang dan duduk di samping Woonhak.
Dia tau dia sudah menyakiti adiknya ini, tapi dia juga ingin merasakan apa yang diterima Woonhak ataupun Riwoo. Sungho ingin tau, rasanya diberi hadiah tanpa diminta seperti apa.
"Baik, hari ini Kak Sungho boleh pake!"
•
.
•
"Kami berangkat!" Suara keras dari dalam mobil dan lambaian tangan dari tiga anaknya pada si Ibu.
"Hati-hati!!"
Baru saja dia akan menutup pintu rumah, seorang nenek datang dengan kotak bekal di tangan, "waduh, nenek terlambat rupanya."
"Astaga, nek! Ayo masuk ke dalam, mereka baru saja pergi, bekalnya nanti saya berikan."
Sang nenek tentu mengikuti ajakan ibu sambung dari cucu-cucunya untuk ke dalam rumah.
"Nenek, harusnya tidak perlu seperti ini, cukup tinggal dengan kami saja."
"Kalian sudah merawat kedua cucuku dengan sangat baik, dan ingin merawat aku juga? Itu terlalu keterlaluan, kalian akan kesusahan dengan aku yang sudah tua ini."
Dibawanya sang nenek duduk di ruang tengah dan pergi sebentar ke dapur untuk membuatkan minum.
"Ibu jangan seperti itu, justru Riwoo dan Woonhak akan senang nenek mereka di sini," diletakkan secangkir teh hangat di meja.
"Tidak perlu, jika aku butuh aku akan datang. Aku tidak ingin ayah ibu mereka datang kemari seperti hari-hari kemarin tanpa aku ketahui."
•
.
•
"Jadi, mau Papa jemput?"
Si tengah yang duduk bersamanya menggeleng kuat, "tidak perlu, kami bisa pulang sendiri."
Sang ayah tidak lagi membahas tentang itu.
Sementara di belakang ada dua orang yang berisik, satunya tertawa kecil karena berhasil menggoda sang adik, satunya lagi kesal karena terus diganggu.
Dua anak ini tidak boleh bersama, karena jika bersama maka seperti inilah jadinya.
"Awas saja sepatu itu lecet!"
"Siap, kapten Woonhak! Akan prajurit jaga sepatu ini dengan baik, hahaha!!"
Mobil berhenti tepat di depan gedung sekolah, membuat aktivitas menggoda Woonhak terhenti.
Ketiga-tiganya turun bersamaan dengan tas masing-masing.
"Selamat belajar!"
"Semangat kerja juga, Pa!!"
Setelah mobil sang ayah pergi, barulah mereka masuk ke dalam gedung sekolah, dengan Woonhak yang berbelok masuk ke lorong kelas untuk kelas 10 dan dua kakaknya di kelas 12.
Sepanjang jalan Woonhak menyapa ramah anak-anak siswa juga guru-guru yang bertemu dengannya, hal ini selalu dia lakukan setiap hari hingga membuat dia banyak dikenali siswa dan guru karena sikap ramahnya.
Sesampainya di kelas, belum ada Woonhak duduk di tempatnya teman-temannya sudah mengerumuni dirinya dengan buku juga handphone mereka.
"Unhak buat tugas kan? Boleh foto?" Tanya salah satunya
Woonhak tersenyum kecil dan mengeluarkan beberapa buku yang dia yakini ada tugas rumah.
"Boleh."
"Unhak memang baik!!"
Ini bukan suatu paksaan.
Woonhak senang jika hasil kerjanya bisa membuat orang lain senang, walaupun itu senang di arah yang berbeda.
Entahlah, membantu orang lain terasa menyenangkan baginya.
Anak dengan usia 15 tahun yang sedang dalam masa berkembang itu, tumbuh dengan baik bersama orang tuanya, teman-teman yang baik, dan Kakak-kakak yang hebat.
Tapi, ada satu hal yang terasa kosong.
Woonhak melihat semua teman kelasnya, tidak ada yang sedekat teman baik baginya.
Dia harus mencari setidaknya satu teman baik.
•
.
•
"Ehh Riwoo ganteng, selamat pagi~"
"Eh pagi juga~"
"Riwoo yakin tidak mau ikut Pramuka?"
Riwoo tersenyum kemudian menggeleng halus.
Hampir selalu dia ditanyai hal yang sama dan jawabannya juga selalu tidak. Namun, teman-temannya terus memaksanya hingga saat ini, padahal perkemahan Pramuka itu tinggal dua minggu.
Riwoo benar-benar tidak berminat dengan aktivitas menurut dia berat dan melelahkan secara fisik dan mental itu.
"Yah..."
•
.
•
Sungho masuk ke dalam kelasnya meletakkan tas dan menunggu di depan pintu, dari sini dia bisa melihat kelas Woonhak yang berhadapan dengan kelasnya. Bisa dia lihat adiknya itu sedang berjalan-jalan memutari kelas.
Biar Sungho tebak, anak itu sibuk membantu teman sekelas dengan tugas rumah.
"Berdiri di depan pintu, ada apa?"
"Biasa, liat Unhak di sana..."
Selanjutnya adalah lonceng bel berbunyi tanda kelas segera akan dimulai. Namun pikiran dan pandangan Sungho masih pada kelas Woonhak di seberang sana, dia khawatir.
Khawatir Woonhak dan lingkar pertemanannya yang tidak baik menurutnya.
•
•
.