Hinata telah menyelesaikan rutinitas paginya. Saat dirinya hendak menyeduh teh hangatnya, tiba-tiba notifikasi pesan dari ponsel kerjanya berdering. Sejenak dia melihat jam yang masih menunjukkan pukul 6 pagi. Hinata meletakkan cangkir yang berisi teh itu diatas meja. Kemudian dia meraih ponselnya.
+81 197 ××× ×××
Hinata, ayah terpaksa menganggu kehidupanmu kali ini.
Ayah benar-benar membutuhkan bantuanmu.
Kali ini tolong ayah sekali saja, selama ini ayah tidak pernah menganggu kehidupanmu bukan? Harapan terakhir ayah hanya ada padamu.
Sebisa mungkin kau datanglah ke rumah setelah menerima pesan ini. Pergi ke kamar ayah apapun yang terjadi dan bawalah beberapa berkas yang berada di laci hitam. Jangan pernah memberitahu siapapun, termasuk sahabatmu sendiri.Ayah selalu menyayangimu, Hinata.
Alis Hinata tertaut. Bukan perasaan penasaran bagaimana Ayahnya bisa mendapatkan nomor yang dia gunakan khusus untuk pekerjaannya. Tetapi dia terheran karena setelah kematian ibunya tujuh tahun yang lalu, ini pertama kalinya ayahnya menghubungi Hinata.
Hinata berdiri dari duduknya. Langkah kakinya menuju ke dalam kamar dan memandang kamar mandi yang saat ini tengah terdengar guyuran air dari sana.
"Ini pasti sangat penting..." gumam Hinata. Akhirnya Hinata berjalan keluar kamarnya dan meraih sebuah pena untuk menuliskan sesuatu di kertas kecil. Setelah dia selesai menulis, kertas itu diletakkannya dibawah cangkir kopi.
Tanpa membuang waktu lebih lama, dirinya meraih tas nya dan segera meninggalkan apartemennya.
Sementara itu, di apartemen Hinata. Suara air yang tadi terdengar didalam kamar mandi Hinata telah berhenti. Seseorang keluar dari sana dengan tangan yang sibuk mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Pandangannya mengedar diseluruh kamar Hinata, namun wanita itu tidak ditemukan.
"Hinata..." panggilnya dengan melangkah keluar dari kamar. Indera penciumannya langsung merasakan aroma kopi ketika dirinya berhasil keluar dari kamar Hinata.
Langkahnya tentu saja langsung dituntun menuju meja dapur yang sudah tersedia satu cangkir kopi. Tidak lupa juga dibawahnya terdapat note untuk dirinya.
Sembari menyeduh kopi miliknya, mata itu membaca pesan yang tertulis disana.
Naruto, aku memiliki keperluan mendesak. Jangan menghubungiku karena aku sedang tidak mengaktifkan ponsel pribadiku. Jika kau ingin keluar ini pin apartemenku 1***** Oh, iya. Jangan lupa, kau masih memiliki banyak hutang padaku.
Tanpa sadar kekehan terdengar dari mulut Naruto saat membaca kalimat terakhir Hinata. Pria itu berjalan kearah sofa dan meraih kemejanya. Memakainya dan segera melangkahkan kaki untuk keluar dari apartemen Hinata.
Namun, saat tangannya hendak meraih gagang pintu apartemen Hinata. Sebuah telepon masuk menghentikannya.
"Sudah selesai?"
"Bagus" Akhirnya Naruto benar-benar pergi dari apartemen Hinata.
♧♧♧
Setelah setengah jam perjalanan menuju rumah kediaman ayahnya. Hinata masuk tanpa ada seseorang yang menjaga rumah itu. Hinata mengedarkan pandangannya pada area halaman yang cukup luas, namun tetap saja dirinya tidak menemukan siapapun disana. Kemana perginya semua anak buah ayahnya?
Hinata menggeser pintu rumah yang masih tradisional itu. Melangkahkan kakinya masuk kedalam. Sambutan pertama yang ia dapat adalah bau anyir yang menyengat. Saat dirinya berhasil menutup pintu itu, langkahnya di lanjutkan menuju ruang tengah dimana tempat itu adalah tempat pertemuan yang biasanya ayahnya gunakan untuk keperluan bisnis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dating App [END]
RomanceKetidaksengajaan Hinata menggeser layar ponselnya ke arah kanan pada aplikasi dating membuat dirinya bertemu dengan pria misterius.