3: KOLONI

974 107 13
                                    


V I D I A


Kapten mati. Karavan hancur. Sekarang simbol dan angka aneh di kepalaku.

"Kak Vidia?"

Nggak, ini cuma halusinasi. Sudah seminggu, harusnya aku sembuh. Tapi bayangan simbol angka itu masih menghantui kepalaku! Apa yang peti itu lakukan pada otakku!?

"Kak Vidia!!"

Aku tersentak kembali ke realita. Lamunan badai sekejap memudar menjadi kain terpal putih penuh angka di depan wajahku.

"Uh, yaa?" Kepalaku menoleh ke belakang dengan batang arang masih terselip di jemari.

Sepuluh anak kecil menatapku, duduk lesehan di karpet lusuh robek-robek. Rambut acak mereka terhempas angin lembut yang masuk dari lubang besar di tembok sebelah kiri-ku di mana pemukiman sibuk Koloni terlihat di bawah sana.

Sinar mentari pagi menerobos daun dan akar rambat yang menghias pinggiran lubang, memancarkan kilauan hijau-kuning di wajah polos bingung mereka.

"Kak Vidia, itu tahun apa kok banyak banget? Bukannya tahun 2915563 itu kejauhan?" Ucap gadis mungil di pojokan, menunjuk ke papan tulis yang dirakit dari kain terpal putih dan rangka kayu persegi panjang.

Aku menoleh ke terpal. Apa yang dia bicarakan? Perasaan aku baru menulis tahun 2027.

Astaga...

Kenapa aku menulis 2915563!? Stasiun Bulan kan baru dibangun tahun 2027!

"Kakak melamun lagi kah?"

"M-maaf, kakak nggak fokus hehe," aku tertawa gerogi, kuhapus kombinasi angka aneh itu dari terpal tulis mengenakan kain bekas.

"Terus yang itu juga tahun apa?" Tunjuk gadis mungil lagi ke sisi lain. Membuatku mengerling lagi ke bagian kanan atas papan tulis yang nggak kuperhatikan.

Tubuhku mendadak dingin. Tanganku bergetar menjatuhkan arang, mematahkannya jadi dua. Kulihat lima deret kombinasi angka acak yang tak kutahu darimana datangnya.

"Gila... aku sudah gila..."

Dengan cekat kuusap semua memakai sikut, "Yap-!" Aku menepuk tangan, menghempas debu arang yang membaur pada aroma segar lumut dan tanaman rambat yang menyelimuti tembok dan langit-langit ruangan. "Nggak ada menulis, hari ini kita akan baca buku saja!"

Aku keluarkan buku sejarah yang ratusan tahun sudah kadaluarsa dari ransel merah muda ku.

Cover tua bertuliskan 'kurikulum 2055 terbaru' itu sudah robek dan berjamur. Tapi setidaknya buku-buku burik yang dikumpulkan unit Karavan saat ekspedisi ke dunia luar bisa mendidik anak-anak ini.

Yah, meski banyak tulisannya yang sudah melebur hilang nggak terbaca.

"Stasiun Bulan pertama dibangun di tahun 2027 lewat misi Artemis. Ingat ya, 2027! Bukan angka nggak jelas tadi," ucapku sambil memperlihatkan halaman dengan gambar ilustrasi, "Lihat kubah-kubah ini? Itu rumah nenek moyang kita di bulan dulu. Mereka menanam banyak buah dan sayur di dalamnya. Keren kan!?"

"Bulan kan di luar angkasa, bagaimana nenek moyang dulu naik ke sana?" Tanya seorang bocah lelaki ingusan di antara mereka yang tampak lebih tinggi dan tua.

"Pertanyaan bagus! Ada yang mau tebak?"

"Naik burung?"

"Mereka buat tangga yang... sangat sangat tinggi!"

Jawaban-jawaban mereka membuatku tertawa geli.

"Ibuku bilang, mereka pakai api untuk ke langit."

"Yap!!" Aku menunjuk gadis mungil sama yang membuyarkan lamunanku tadi. "Nilai plus buat ketua kelas. Nenek moyang kita pakai api untuk ke sana."

CARAVAN 97Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang