9: PETRIKOR

444 50 6
                                    


N O V A


Sudah 10 tahun sejak insiden Gerbang Api. Sejak kami berdua mencoba keluar mengejar suku kami.

Hanya untuk kembali lagi membawa luka.

Namun kini semua itu akan terjadi lagi. Aku dan Vidia akan menjejak masuk ke belantara sana untuk kedua kali, demi mencari jawaban.

"Kepala Koloni masuk! Kepala Koloni masuk!" Teriak pak kondektur yang kemarin melerai.

Daun oranye kecoklatan menaburi atap kabin atas kereta navigasi. Beberapa guguran menerpa wajahku yang membatu menatap barisan perintis, mengular dari ujung gerbang ke arah pusat sejauh mata memandang.

Sekilas, kami seperti gerombolan ternak bersiap masuk rumah jagal.

Aroma berubah, dingin udara kencang mulai menusuk bersama mentari yang perlahan hilang dibalik pusaran awan hitam.

Alat-alat navigator saling bergemricik. Poros teleskop berderit bersama kertas peta yang terbang jika tak kuganjal.

Perempuan pendek kulit gelap yang mana adalah ketua navigator ada di dek bawah, duduk bersama kapten di kemudi.

Belum ada sepatah kata dari mereka sejak mereka suruh aku menjaga dek atas sendiri.

Mereka buang aku ke atas sini. Yah, setidaknya aku tenang menyendiri menatap sumpeknya perintis-perintis saling berpamitan.

Mereka semua berpelukan dengan keluarga, mencium yang terkasih, serta menenangkan yang menangis.

Apa yang mereka lakukan? Tersenyum melepas yang tercinta ke neraka?

Konyol sekali.

Doktrin Koloni sangat kuat, otak mereka bahkan bisa dibeli dengan harapan manis. Membelah dadamu demi janji kemajuan yang tak jelas kapan terealisasi.

Helm-helm hitam biru tua itu memandangi kami seperti penonton tribun.

Pose sok gagah dan senyuman angkuh; sulit kuterima ada alasan kuat untuk mengerahkan mereka sebanyak ini jika bukan untuk pamer atau suntikan moral.

Aku menoleh ke sisi kiri pada kereta kuning logistik. Vidia berdiri menggantung berpegangan besi penyangga kargonya.

Tangan satunya sibuk membenahi rambut baru yang sekarang sebagian disemir biru.

Merasa kuperhatikan, Vidia menoleh ke atas kereta navigasi dan tersenyum pasrah padaku. Kali ini tak lagi penuh penyangkalan; dia mulai menerima penampilan nyentriknya.

Drone-drone empat rotor berseluncuran di atas perbatasan, lalu diikuti dengungan dari pengeras suara di masing-masing drone.

Hiruk pikuk memudar.

Semua perintis terpaku menatap dinding gerbang yang menyembunyikan dunia luar kecuali beberapa pucuk pinus yang melambai-lambai.

"Va, itu beliau."

Sosok pria bertopeng kayu dan jas formal berjalan di atas platform dinding tembok.

Menyusuri pijakan besi, dia dikawal rombongan pasukan khusus berjubah yang juga memakai topeng-topeng kayu.

Wajahnya tak tampak, hanya rambut abu-abu pendek dan sepasang bulu burung menjulur ke atas layaknya antena belalang. Dua ranting dahi yang ujungnya digantung mata panah silver membentang ke kiri dan kanan.

Jas hitamnya kusut dengan kemeja biru muda, celana katun panjang, sepatu hitam, dan secarik dasi merah yang sedikit robek.

Dia persis dengan pekerja kantor yang Vidia lihat di majalah lama.

CARAVAN 97Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang