V I D I A
Segepok kertas-kertas burik itu berjatuhan dari genggamanku, semakin memberantakan lantai kantor sensus seperti kereta kuda yang habis terguling.
"Nggak... nggak! Nggak! Nggak mungkin!"
Kujejerkan lagi ceceran kertas-kertas lecek berisi deret nama orang, suku, desa hingga klan itu. Isinya ditulis manual tangan dan mesin ketik yang kadang nggak rapih, membuatku semakin melotot tegang membacanya satu-satu.
"Nggak mungkin, kok mereka nggak ada!? Harusnya mereka ada di sini!"
Petugas-petugas berdasi dari birokrasi Koloni menatapku heran. Beberapa mengintip dari luar jendela di ruangan pohon sebelah yang agak tinggi.
Cowok kurus di depanku memberi tatapan khawatir dari balik meja administrasi yang terbuat dari rakitan potongan tong-tong plastik bekas. Kuku kotornya mengetuk-ketuk permukaan meja, membuat suara menggema dari ruang kosong di dalamnya yang berisi tumpukan dokumen Pos Cemara.
"Nona perintis, kumohon beritahu suku atau desa mereka. Saya mungkin bisa bantu!"
Kuhiraukan ia dan terus membaca ulang puluhan kertas itu. Menjelajah hampir sejam dari tadi, menyaring ribuan data imigrasi dan emigrasi dari tahun ke tahun.
Gebrakan sepatu boot selututku pada lantai kayu memicu suara ribut yang makin membuat suasana nggak enak.
"Walter... Fara... Wolfhart... di mana, di mana, di mana!?"
Kubaca hingga ujung ke ujung. Kubaca ulang, lagi dan lagi.
"Oi oi, ribut sekali..." peringat santai seorang penjaga yang tiduran santai sambil terpejam di atas hammock dekat balkon pintu keluar.
"Jaga ketertiban, oke? Unghh...." tubuh besarnya meliuk berguling, sedikit menyenggol helm, crossbow dan kantong anak panah yang tercantol ke pagar kayu balkon dan tangga sempit menurun ke jalan gantung utama.
"K-kau yakin cuma ini dokumennya!? Nggak ada yang terselempit di tong atau di pohon lain?!"
"Maaf, cuma ini kantor yang mengurus sensus penduduk, kantor-kantor pohon lain mengurus inventaris, logistik dan biro lain. Mungkin seseorang atau suku yang kau cari terlewat dari pencatatan, soalnya Koloni masih sering kelewatan kalau soal akurasi data."
"Kelewatan? Yang benar aja, mereka terlalu besar, terlalu banyak untuk terlewat!"
Tetesan keringat jatuh pada lembaran-lembaran. Nggak ada suku Wulfas, nggak ada nama ayah dan ibu tertulis sama sekali di catatan-catatan ini.
Kugeruk semua lembaran itu, teremat erat di genggaman. Aku bangun, menggebrak pasrah ke jendela kantor.
"Apa-apaan ini..."
Siulan burung-burung pesan terpicu di setiap kandang yang menggantung di sisi-sisi luar jendela, mengisi renunganku bersama hembus angin gunung yang menyusup memainkan kucir kudaku dan mendinginkan tubuh panas berkeringatku.
"Nggak masuk akal... ini nggak masuk akal!" Aku lempar kertas-kertas itu menghambur lagi ke lantai, "Di mana logikanya kalau begini!?!"
"Saya tahu pekerjaan kami jauh dari sempurna, tapi kau tak bisa mengobrak-abrik tempat ini sesukamu!" Teriak petugas lelaki itu dengan wajah sedih sambil lari memutari meja tong-nya untuk mengambil lembaran itu.
"Hoeh! Apa yang kubilang tadi?!" Penjaga tadi turun dari hammock dan menggebrak pintu sambil sempoyongan membawa crossbow nggak berisi, "Sekali lagi berisik, akan kutendang kau dari sini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CARAVAN 97
AdventureHidup di dunia hancur 2211, Nova dan Vidia bertanggung jawab untuk membangun kembali sisa-sisa umat manusia melalui tim karavan Koloni. Namun, kecelakaan teknis mengirim dua bersaudara pada perjalanan yang akan menentukan nasib peradaban. Berbekal p...