7: STASIUN

667 64 15
                                    


V I D I A

Pria kekar telanjang bulat melintas di depanku.

"Kau bilang apa tadi? Istana?" Nova menatap remeh padaku yang beku menyingkap gorden.

Dunia di mana tubuh manusia berbaur bersama usus kuda, tiba-tiba berubah drastis saat langkah kami menginjak kompleks persinggahan perintis.

Gerbong-gerbong saling berjejer jadi ruangan terbagi. Warna-warni neon jadikan suasana gelap remang tampak vibran, menampakkan wajah-wajah berseri yang melepas penat atau sekedar mempersiapkan jiwa.

"Apa-apaan..." Aku menganga.

Lishya berbalik badan, "Selamat datang di Stasiun Perintis. Ini malam terakhir sebelum ekspedisi, awas langkah kalian."

Saat itu juga ada wanita memeluk kakiku dan muntah di sepatu bootku. Baunya beradu dengan alkohol dan kepulan rokok di penjuru gerbong.

"Eugh!"

Kami bertiga menyusur lorong gerbong berisi jejeran meja dan balok kecil tempat wanita-wanita menari di kanan kiri.

Mereka pakai pakaian aneh yang minim. Beberapa tampak tanpa sehelai kain.

Tapi satu hal membuat nafasku tertahan; banyak dari mereka nggak punya bagian tubuh lengkap!

Ada yang bertangan satu, ada yang bahkan payudaranya hilang sebelah.

Dan di sekitar mereka, para perintis menatap kami. Beberapa menyipit curiga dengan pisau mengorek meja, yang lain tersenyum gila dengan wajah mabuknya.

"Ini lebih liar dari gang depan tokoku," ucap Nova di sampingku. Pupil cokelatnya lebih terfokus dari biasanya.

Aku cubit keras pinggangnya, "Aku tahu kau rekam semua ini ke otakmu, dasar mesum!"

"Kau yang bawa kita ke sini, burik!"

Musik memekik, menggema di antara gerbong-gerbong.

Petikan gitar listrik dan drum berasal dari satu lahan luas di tengah komplek tanpa gerbong yang isinya panggung dan meja-meja makan besar.

Di atas kami, gerbong dan bangunan kayu saling bertumpuk membentuk kubah dengan terpal menutup sela-sela terbukanya, membuat tempat ini hangat.

Pada panggung sana, satu pria bermain drum dengan seorang pria lain memegang gitar listrik.

Nggak... yang gitar itu bukan pria. Itu robot dengan gitar listrik di tangannya!

"Itu drone? Drone mereka bisa main gitar!?"

"Banyak drone usang dikirim ke logistik perbatasan tapi yang sehat dikirim ke sini untuk main gitar? Huh, Koloni sangat tahu prioritas," Nova menyindir.

Robot itu mirip dengan yang memberi Nova alkohol saat badai bulan lalu, tapi lebih kokoh dan tinggi.

Tubuhnya penuh plat besi. Perban diikat pada kepala mesinnya yang memakai topi pemadam kebakaran dengan pelindung leher.

Layar wajahnya setengah retak dengan dua lingkaran putih berkedut seraya ia bermain dengan apik di depan api unggun.

"Keren, haha!"

Masuk gerbong ke dua, kami memulai pijakan pertama dengan menunduk reflek saat satu botol terbang ke muka kami.

Mataku melirik ke arah datangnya di luar jendela; terlihat pria berhelm pilot dan kacamata ski warna pelangi berjoget liar di atas meja dengan hanya memakai celana dalam.

Di bawahnya, wanita jangkung rambut oranye sebahu meneguk satu botol penuh dengan hanya memakai dasi hitam, bra dan celana katun. Semua orang sekitar mereka bersorak menggebrak meja-meja.

CARAVAN 97Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang