16: RETRIBUSI

260 28 7
                                    


N O V A


"Vidia! Vidia di mana kau!"

Kala itu, kaki kecilku susah payah membawaku lari menerjang hutan.

Semakin jauh, semakin dalam aku masuk ke gelap rerimbunan. Bebatuan semakin besar. Ranting dan semak semakin tinggi, hampir menjegalku beberapa kali.

Aku hilang arah. Aku kehilangan Vidia.

Pergi ke dunia luar adalah ide buruk. Tak ada ayah dan ibu, semua Wulfasian sudah pergi, dan pria seram bertopi itu sedang mengejar kami, membawa kami semakin jauh dari Koloni.

"Vidia!!!"

Tetes air jatuh ke wajahku. Lagi dan lagi, semakin banyak.

Hujan mulai mengguyur tubuh yang sudah berkeringat basah. Aku hilang fokus, hanya lari sambil menangis.

KRAK!

Batang kayu menjegal kakiku, menjatuhkan tubuh ringkihku berguling menuruni lereng tanah berbatu.

Setiap putaran, kerikil terasa meremukan tulang. Kulit seperti terbakar, tergerit tanaman-tanaman tajam.

"Novaa!" Teriak panjang gadis di kejauhan, menggema di antara gelap hutan.

"Vi...dia..." Aku coba kembali bangkit di sebuah lembah yang tak terlalu dalam.

Lututku berdarah, duri-duri kecil menancap di jemari dan pipi. Sementara hidungku mulai mencium bau-bau aneh; anyir dan busuk.

Diriku tersentak kaku.

Aku lihat tepat ke mata itu; seekor beruang besar di bawah rindang pohon, beberapa langkah di depanku. Hewan itu sibuk mengunyah daging dari rusuk bangkai rusa.

"Novaa!!"

Beruang itu menyadariku, namun acuh. Hidangannya terlalu lezat untuk diabaikan. Aku kecil kala itu, tubuhku tak banyak daging, syukur dia pasti tak tertarik padaku.

Insting membawa kakiku mundur menjauh pelan, diiringi teriakan Vidia yang semakin dekat dan keras di antara hujan yang semakin deras.

Ingin sekali aku menyahut, tapi itu akan jadi hal bodoh terakhir yang kulakukan.

Membekulah langkahku kala endusan tiba-tiba terasa di tengkuk belakang.

Aku nekat menoleh perlahan; di situ ada anak beruang yang sibuk mengendus badanku. Satu dan dua lainnya juga bermunculan dari semak belukar jauh di gelap rindang.

Menyadari itu, semua asa dan harapanku mendadak pupus.

Grrgggrr...

Aku tatap lagi ke depan; kini induk itu berdiri melangkahi makanannya, dengan cakar menghempas-hempas rumput.

Raungannya menderam garang, menggetarkan seluruh kulit dan tulangku.

Tidak pikir panjang, reflek kakiku membawaku lari ke batang kayu lapuk di sisi kanan lahan.

Anak-anak beruang mengacir panik sementara induknya menerjang ke arahku.

Sabetan cakarnya mengenai sol sepatu, tepat saat aku menarik seluruh tubuhku terlentang masuk.

"VIDIA!!!" Teriakku setengah mati.

Terperosok dari atas, Vidia muncul jatuh keluar dari belukar.

Aku menengadah, melihat keluar ke sisi lubang lain dan mata kami bertemu di kejauhan.

Sebilah pisau tergenggam erat, bersama sepasang mata biru sembab yang bergidik membelalak.

"Nova..."

"Vid?!"

CARAVAN 97Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang