15

10.2K 572 8
                                    

Media - Nana

***

Bora POV

Ada saatnya kita harus mengorbankan sesuatu yang kita sayangi.

Dan ada saatnya kita harus melawan.

Aku tidak ingin menjadi perusak hubungan orang lain. Tapi apa harus perasaanku ini kukorbankan demi orang lain?

Ada saat dimana agar tetap dekat pada seseorang adalah dengan hanya menjadi teman, tidak lebih.

***

a few months later?

Nana POV

"Kau tahu? Gadis yang disana itu? Dia adalah musuh terberat kita."

"Bagaimana bisa kau bilang dia adalah musuh terberat kita?"

"Lihat saja. Gayanya terlalu centil. Bahkan saat beberapa pria tampan mampir ke cafe ini, mereka selalu memperhatikannya."

Aku tidak peduli apa kata mereka. Aku hanya terus melakukan pekerjaanku dengan baik. Mengelap seluruh meja, mengantarkan pesanan, dan menulis beberapa pesanan di nota kecil yang kubawa kemana-mana.

Sudah sekitar 2 minggu aku mulai bekerja. Tidak bergantung pada uang yang diberi ibuku atau ayahku atau siapapun. Walaupun hanya sebagai pelayan cafe kecil, aku sudah bangga atas itu.

"Hey kau gadis baru!" panggil salah seorang pelayan lain dari belakang kasir. "Kenapa kau mengelap terus, hah? Seharusnya kau tahu itu sudah bersih."

Aku hanya diam dan tidak peduli. Walaupun aku tahu meja ini sudah bersih tapi aku hanya melaksanakan apa yang harusnya kukerjakan.

"Kenapa kau masih tidak berhenti? Oh, tuhan aku mengerti sekarang. Kau ingin memamerkan tubuhmu itu, 'kan?"

"Oh. Kau benar, jika membungkukkan badan sambil mengelap meja akan memperlihatkan tubuhnya itu, bukan?" sahut gadis yang lain.

Terdiam sesaat. Berusaha mencerna semua fikiran burukku. Aku memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi pada gadis itu sekarang juga. Dan tentunya karena dia akan mendapat sebuah pelajaran dariku. Oh. Dan soal ucapannya itu, bagaimana bisa tubuhku terlihat saat aku membungkuk? Baju pelayan berwarna hitam putih ini saja memiliki kerah yang sampai menutupi leherku.

"Tuan, apa ada yang bisa saya bantu?" ucap gadis itu sesaat setelah melihat pembeli yang datang.

Pria itu hanya diam dan duduk di meja yang kubersihkan. Dia menatapku dalam diam. Aku juga menatapnya kemudian mengeluarkan nota kecil yang selalu kubawa kemana-mana.

"Anda mau pesan apa, tuan?"

"Kita pernah bertemu sebelumnya." ujarnya sambil menunjuk-nunjuk kearahku.

"Maaf, tuan. Tapi menu itu belum ada di cafe kami. Anda bisa menuliskannya di kotak saran." balasku melipat kembali nota kecil itu sambil menunjuk ke arah sebuah kotak saran di ujung cafe.

"Aku mau satu kopi panas. Itu saja."

Aku segera pergi ke dapur untuk mengambil pesanan pria itu. Mana mungkin aku menyuruh gadis-gadis itu membuatkan kopi? Yang ada mereka akan menceramahiku perihal diriku yang dibilang genit dan sebagainya. Padahal aku sendiri bersikap biasa saja pada semua pelanggan yang datang.

Kuambil gelas plasti berukuran sedang pada mesin pembuat kopi itu. Selagi menunggu gelas itu penuh, aku melipat kedua tanganku di depan dadaku dan mengetukkan kakiku ke lantai.

"Lihat saja tingkahnya yang genit itu, dasar."

Lagi-lagi mereka berbisik ke arahku. Berbisik dengan lantang yang kuyakini mereka bukan berniat berbisik tapi menyindirku. Tapi, aku tidak pernah peduli. Pekerjaanku lebih penting, bukan gadis-gadis yang kuanggap 'tidak penting' itu.

Find a Way [exo fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang