Mean Girl

0 0 0
                                    

Aku menghapus riasan tebal yang menempel di wajahku dengan senyum yang sangat lebar. Apakah ini senyum kemenangan, atau justru kekalahan? Entahlah. Aku merasa dua-duanya menyatu, melebur, dan bertransformasi menjadi keangkuhan sebagai bentuk pertahanan diriku.

Bisa dibilang, ini adalah salah satu hari terburuk dalam hidupku. Hari di mana aku menyaksikan pria yang memanggilku sayang hampir 4 tahun itu, berdiri di atas pelaminan. Memakai baju adat berwarna putih, dengan senyum yang lagi-lagi masih mempesona. Aura kebahagiaan memancar darinya, tidak jauh beda dengan perempuan yang ada di sebelahnya.

"Makasih, Sa. Udah mau dateng," ucap Arya, sang pengantin pria dengan canggung. Aku hanya mengangguk, tersenyum, dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja.

Tapi apa kau tahu apa yang ada dalam pikiranku?

Seharusnya aku yang ada di sana. Seharusnya aku yang sibuk menyalami tamu dengan wajah lelah sumringah itu. Seharusnya aku yang menjadi ratunya. Bukan dia. Bukan perempuan yang tidak lebih cantik dariku itu.

"Selamat ya, Kak. Semoga pernikahan kalian langgeng dan tidak ada orang ketiga." Aku berbisik di telinga pengantin wanita saat kami bersalaman dan saling menempelkan pipi.

Dari ekspresi wajahnya, aku sangat yakin kalau dia benar-benar tidak mengenal siapa gadis yang ada di hadapannya. Dia tersenyum tulus dan mengucapkan terima kasih padaku.

Tidakkah dia tahu, dia yang menjadi antagonisnya di sini? Dia merebut lelakiku. Lelaki yang tadinya begitu takluk dan tergila-gila padaku. Tapi setelah j*lang itu datang, aku dibuang dengan alasan, "Maaf, ibuku tidak menyetujui hubungan kita. Dia sudah menyiapkan seorang perempuan baik-baik untuk jadi istriku."

Wtf! Omong kosong apalagi ini? Jadi mantan calon mertuaku itu pikir aku bukan perempuan baik-baik? Aduhai Tante. Aku hanya sedikit 'bebas' karena hidup di kota metropolitan ini. Bukan berarti aku pel*cur, atau bahkan kriminal. Hidup sendirian di kota sekeras ini bukan hal yang mudah. Bahkan perempuan yang dia bilang baik itu pasti akan merengek pulang ke kampung halaman jika berada di posisiku.

Malam ini, harusnya aku menangis tersedu-sedu. Meratapi hatiku yang patah, bahkan luluh lantah. Karena perjodohan yang sialnya disambut hangat olehnya. Tapi, aku bukanlah orang yang pasrah dan menyerah dalam kekalahan. Kalau aku tersakiti, berarti dia juga harus tersakiti.

Kurebahkan tubuh di atas kasur kesayanganku. Tempat ternyamanku. Tempat yang menjadi saksi peluh dan lenguh saat aku dan kekasihku bercumbu.

Rupanya benar kata mereka. Aku bukan perempuan baik-baik. Karena perempuan baik-baik tidak akan mengirimkan rekaman video panas yang pernah dia rekam diam-diam sebagai kado pernikahan mantannya.

"Semoga kamu suka hadiahnya, Sayang!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love and ShitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang