Istri Kedua

1 0 0
                                    

Selentingan-selentingan itu mulai terdengar. Tentang tante Rosi. Tentang bapak yang menikah lagi. Tentang emak yang rela dimadu. Dadaku begitu sesak. Tulang-tulang di tubuhku rasanya tak sanggup menopangku untuk berdiri. Aku linglung. Bagaimana bisa aku menjadi orang terakhir yang tahu kabar ini?

Selama ini, mereka memperkenalkan tante Rosi sebagai teman, kenalan, kolega, atau apalah namanya. Aku juga tidak peduli orang tuaku mengenal tante Rosi kapan dan di mana. Yang kutahu, dia sering berkunjung ke sini. Kadang mengobrol dengan emak. Kadang juga pergi dengan bapak. Bukankah tak patut jika bapak pergi berduaan dengan selain istrinya? Ah, betapa bodohnya aku.

"Tante Rosi itu selingkuhan bapak, Sa." Kakak iparku mencoba menepis kabar burung yang kudengar. Tapi justru menyajikan berita yang lebih menusuk hatiku.

Perselingkuhan macam apa ini? Kenapa bapak sebegitu teganya membawa selingkuhannya ke rumah? Kenapa emak begitu legowo dan terlihat tidak keberatan dengan semua ini? Jadi selama ini tante Rosi itu menjadi parasit dalam keluarga kami? Pertanyaan-pertanyaan itu berkeliaran di kepalaku. Saling bertubrukan satu sama lain. Membuatku marah, sedih, kecewa, tapi juga bingung.

Sayangnya, aku tak punya nyali untuk menanyakan hal itu secara langsung. Entah itu kepada bapak maupun emak. Kakak, abang, semua bungkam. Seolah menganggap hal ini adalah sesuatu yang normal. Karena memang tante Rosi bukan orang baru di rumah kami. Sejak aku masih SD, sampai usia belasan, dia sering wara-wiri ke rumah. Selama itukah perempuan ini jadi benalu?

"Tadi aku lihat bapakmu di pasar Klewer. Lagi milih-milih baju buat ibu tirimu. Emakmu dibelikan juga kan?"

Aku cuma tersenyum kecut ketika salah satu tetangga menyapaku di warung kelontong miliknya. Jika tahu akan ada pertanyaan seperti ini, pasti aku memilih untuk membeli gula pasir di mini market sekalipun harganya lebih mahal. Persetan dengan melarisi dagangan tetangga.

Aku  segera mengeluarkan dompetku dan membayar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Terlihat raut muka yang tidak mengenakkan saat dia memberiku uang kembalian. Tapi aku tidak peduli dan segera menghidupkan motorku, secepatnya menjauh dari tempat itu.

Begitu sampai rumah, aku berdiri sejenak di depan pintu. Menghela napas panjang, dan membuang emosiku yang tadi lumayan bergejolak. Kemudian memasang wajah sumringah seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi begitu melihat mata sembab emak, emosi itu tumpah lagi.

"Bapak ga jadi pulang hari ini, Sa." Emak buru-buru menyeka air matanya dan tersenyum melihat kedatanganku.

"Ngurus proyek lagi? Atau tidur bareng sund*l itu?" Aku terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulutku sendiri. Emak langsung menatapku tajam. Cuma beberapa detik sorot mata itu menghakimiku. Karena setelah itu, dia terduduk dan menangis tersedu-sedu.

Sosok kuat itu pasti lelah berpura-pura. Lelah menyimpan semuanya sendiri. Lelah harus bersikap baik-baik saja, padahal hatinya paling hancur di antara kami semua. "Kalau bukan karena kalian, sudah kuusir bapakmu dari rumah ini. Emak tidak sanggup membiayai empat anak sendirian, Nduk!"

Love and ShitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang