Pria Sejati

0 1 0
                                    

Aku memandangi setiap sudut apartemen dengan perasaan sesak yang luar biasa. Semua adegan itu terekam jelas dalam ingatanku. Dia yang mengecup keningku begitu aku membuka pintu. Dia yang menggangguku di dapur saat aku menyiapkan makanan untuknya. Dia yang menggendongku ke kamar saat aku sakit. Dia yang selalu ada untukku.

Tapi itu dulu. Ah, lebih tepatnya beberapa minggu yang lalu. Atau beberapa bulan yang lalu? Entahlah. Aku rasa dia sedikit berubah sejak aku membahas tentang pernikahan. Tiba-tiba pipiku basah. Aku pun tidak berniat untuk menyekanya. Membiarkannya merusak make up yang kupoles sejak dari rumah sakit. Toh, aku tidak ingin kemana-mana hari ini.

Abimanyu. Aku mengenalnya enam bulan yang lalu. Saat hidupku kacau, dan yang ada di otakku hanyalah m*ti, m*ti, dan m*ti. Hampir setiap malam aku menghabiskan waktuku di bar. Sampai suatu ketika, ada seseorang yang duduk di sebelahku dan membuat hidupku berubah.

"Kenapa suka rose wine?" tanyanya waktu itu.

Aku cuma mengangkat bahu. "I just like it."

"It's my favorit too."

Aku tertawa singkat saat melihat botol wiski yang ada di depannya. "White lie."

"Oh, anggap saja ini pelarian saat hidup kita terlalu penat." Dia berkilah, membuatku memutar bola mataku. "Banyak yang bilang, pria sejati tidak minum wine warna pink. Tapi menurutku, pria sejati adalah pria yang tidak meninggalkan wanitanya sendirian dalam kesedihan." Dia mengulurkan tangannya ke arahku. "Abimanyu. Panggil saja Abi."

"Nisa." jawabku pendek. Aku sedang menikmati malam yang bising ini dan menghindari percakapan. Tapi begitu melihat ekspresi mukanya yang terkejut, aku pun menimpalinya, "Innocent name, right? Aku tahu kok nama itu kurang cocok buatku." Kami pun terbahak bersama.

Beberapa menit kemudian, kami sudah larut dalam obrolan. Dan berlanjut dengan bertukar nomor handphone. Akhirnya, di sinilah kami. Menjadi sepasang kekasih, dimabuk kepayang setiap hari. Dia tidak peduli masa laluku. Aku pun tidak mempermasalahkan latar belakangnya yang pernah gagal dalam pernikahan.

"Ini Aussie, Sayang. Kita bisa membesarkan anak ini tanpa harus terikat dengan pernikahan." Malam itu aku menyerahkan hasil testpack setelah jadwal menstruasiku terlambat dua minggu.

Sudah kuduga. Dia pasti akan menolak ide ini. Aku tidak meminta pesta. Aku tidak meminta mahar yang besar. Bahkan aku tidak memintanya untuk mengikuti keyakinanku. Sekedar mendaftarkan hubungan kami ke kantor catatan sipil sudah cukup. Sayangnya, kata "sekedar" buatku adalah "big deal" buatnya.

"Tapi kita ga mungkin stay selamanya di sini kan?" Aku pun membayangkan raut muka kedua orang tuaku jika tiba-tiba aku pulang dengan membawa seorang bayi.

Dia terkekeh pelan. Aku menangkap ekspresi tidak nyaman dari raut mukanya. "Aku bisa stay di mana aja. Karena aku kerja remote. Kamu lupa? Aku ke sini demi kamu. Karena kamu pengen kabur dari orang tua kamu."

"Bi, please! Bisa ga sih kita ga ngungkit hal itu? I appreciate it. Your effort. Your help. Everything. Ok?" Aku tidak mau menyebut dia sedang gaslighting. Tapi aku mulai tertekan dengan pembicaraan ini. "Aku, aku cuma takut." Suaraku mulai melemah. Tiba-tiba air mataku tumpah. Kenapa aku jadi cengeng seperti ini? Dasar hormon sialan!

Dia yang sudah bersiap-siap untuk pergi, menghampiriku dengan tersenyum, membuat kegelisahanku sedikit memudar. Dia pun memelukku cukup lama. Begitu isak tangisku mereda, dia menatap dalam-dalam mataku.

"I love you, Beb." Suara seraknya membuatku teringat saat dia mengatakan kalimat yang sama untuk pertama kalinya. Terdengar tulus, dan memabukkan. "Aku ga akan ninggalin kamu. Aku juga akan nemenin kamu ngerawat anak kita." Dia membelai rambutku dengan tangan kanannya. Kemudian pandangannya beralih ke perutku, diiringi tangan kirinya yang mengelus pelan perut yang belum membuncit itu. "Kamu ingat? Aku yang menginginkan anak ini. Aku yang meminta izinmu untuk melepas pengaman waktu itu. So, don't worry."

Aku mengangguk pasrah. Lalu kami berciuman sebelum aku melepas kepergiannya. Tak kusangka itu adalah ciuman terakhir kami. Bahkan juga pertemuan terakhir.

Selama sebulan ini, Abi memang masih menghubungiku. Dia menyapaku setiap pagi, mengingatkanku untuk makan dan minum vitamin, mengucapkan selamat tidur, dan perhatian-perhatian kecil lainnya. Tapi, aku merasa hambar. Semuanya palsu.  Dia cuma ingin bertanggung jawab atas kehamilanku. Tidak lebih.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang dan menghirup udara yang bercampur dengan aroma lilin aromaterapiku. Menenangkan. Suasana yang tidak mungkin kudapatkan di rumah sakit. Tiga hari berada di sana membuatku sangat stres karena harus menjalaninya sendirian.

Baru saja aku hendak memejamkan mata, handphone yang kutaruh di atas nakas itu berbunyi. Nama salah satu sahabatku terpampang di sana.

"Iya Sav," sahutku malas. "Udah. Ini udah di apart.... Nggak, aku pulang sendirian.... Iya, dia tahu kok aku opname.... Dia bilang dia butuh waktu.... Aku nggak tahu, capek nungguin dia.... Udah ya, aku mau istirahat dulu.... Thank you."

Setelah mematikan telepon, aku menutupi wajahku dengan bantal dan berteriak sekencang-kencangnya. Aku tidak tahu. Harus marah, senang, atau sedih. Pria sejati tidak akan meninggalkan wanitanya sendirian dalam kesedihan. Tapi sekarang dia pergi. Lucu sekali!

Kuraih lagi handphoneku, kemudian mengetik pesan yang akan kukirimkan padanya sebelum aku memblokir nomornya. "Aku keguguran."

Love and ShitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang