Kegiatan Kia akhir-akhir ini memang padat. Selain belajar untuk ulangan, ia harus terus melukis di ruang kesenian seperti sekarang ini. Besok adalah hari ulang tahunnya yang ke 17.
Kia menggambar pemandangan hutan di canvasnya. Andrew mendekat, ia memuji lukisan Kia. Lalu ia berjalan mendekati Nilam.
Kia masih menatap pemandangan tak biasa dihadapannya. Entah kenapa rasanya sangat aneh melihat kedekatan Pak Andrew dengan Nilam. Lebih tepat seperti pasangan suami istri, bukan anak murid dan guru. Tapi Kia berusaha menepis pikiran buruknya. Ia menggeleng dan fokus lagi pada canvasnya.
Namun belaian di punggung Nilam membuat Kia punya keberanian untuk mengintip interaksi mereka. Usapan itu bukan usapan pujian. Kia tau. Itu seperti nafsu yang menggebu-gebu dimana tangan Andrew menelusuk ke leher Nilam.
Hingga mereka berdua berbalik kebelakang saat Kia tak sengaja menjatuhkan kuasnya.
Kia menelan ludah, "Em em maaf, Pak. Saya kurang fokus." Kia mengambil kuasnya. Andrew masih menatapnya tajam.
Pulang sekolah, Pandu sudah ada di depan gerbang sekolah dengan becaknya. Kia menutup mata Pandu dari arah belakang. Pandu meraba-raba tangan anaknya lalu berbalik ke belakang. Menatap Kia yang tingginya hampir menyamai dirinya yang sudah tua dengan rambut putih dimana-mana.
"Bapak udah nunggu dari tadi?" tanya Kia.
Pandu menjawab dengan bahasa isyarat, "Belum. Baru lima belas menit. Ayo kita pulang, Bapak tadi beli ayam."
Kia mengangguk. Ia menggerakkan tangannya, "Nanti malam jadi ke pasar malam kan?"
Pandu merapikan rambut kepang Kia, "Iya jadi, jam 8 nanti malam kita berangkat ke pasar malam. Kia mau main apa?"
"Apa aja yang penting sama Bapak."
"Oke, ayo kita pergi!"
"Yeaaayyy!!!"
Kia menghirup udara segar dari kota kecil di Palembang. Sedangkan Pandu asik mengayuh becaknya.
Malam harinya, Kia sudah siap dengan rambut andalannya. Kepang dua dengan pita kuning panjang yang koleksinya sudah banyak di kamarnya. Tangan Kia masih menggandeng Bapaknya, di tempat ramai begini, rawan Pandu akan terjatuh karena tidak bisa mendengar derap langkah seseorang dari belakang. Sekarang saja suara berisik dari kora-kora dan rumah hantu terasa begitu senyap di kepala Pandu.
Kia menatap Pandu, "Bapak mau naik bianglala gak?"
Kia menunjuk ke arah Bianglala di seberang.
Pandu mengangguk. Setelah membeli tiket, Kia mengantri bersama Pandu dengan tangan yang masih menggenggam erat laki-laki yang hampir memasuki kepala lima itu.
Pandu tersenyum lebar menatap Kia yang tertawa tanpa beban ketika mereka ada di bagian atas wahana bianglala. Kia menunjuk lampu dari atas.
Pandu menggenggam tangan anaknya. Kia menoleh, menunggu Pandu selesai berbicara dengan bahasa isyarat.
"Kamu senang?"
Kia tersenyum lebar, "Kia senang sekali! Terakhir kan kita kesini waktu sama Ibu, Pak."
Pandu memamerkan gigi kecilnya, "Setelah ini mau kemana lagi?"
Tempat kedua adalah wahana kora-kora. Selama di ujung, Kia tak henti-henti nya menenggelamkan kepala di bahu Bapaknya. Pandu pun dengan sigap melindungi anaknya yang ketakutan dan berteriak. Tapi anehnya, Kia justru senang dengan momen ini. Tempat ketiga mereka bermain lempar bola kasti. Kia sudah mencoba tiga kali namun tak kunjung berhasil. Pandu mengambil alih. Dua kali lemparan, mereka berhasil membawa boneka kecil. Tempat keempat bermain gelang untuk mendapatkan boneka besar, tapi Pandu dan Kia justru hanya mendapatkan sabun cuci bubuk dan juga mangkuk. Setelah menjelajahi tempat panah, kelereng, juga bola yang dimasukkan dalam botol, Pandu dan Kia menyudahi permainan mereka. Pandu memakan es krim bersama anaknya sambil duduk menatap lampu-lampu pasar malam.
"Makasih ya, Kia senang banget hari ini. Ini adalah kado terbaik Kia di umur 17! Padahal Kia ulang tahunnya besok, bukan sekarang."
Pandu tertawa, ia mengelus pucuk rambut anaknya, "Bapak tetap bawakan kado lagi kok. Tapi gak mahal gak papa?"
Kia menepuk lengan Bapaknya pelan.
"Ya gak papa lah, Bapak kasih apapun Kia seneng kok. Oh iya, besok Bapak jemput Kia kan? Kia males pulang sendiri ke rumah kalau sore sore, soalnya jalanan ke rumah sepi. Besok Kia pulang lambat, ada kelas melukis sampai jam 4 sore."
"Iya, besok Bapak jemput Kia. Jam 4 kan?"
Kia mengangguk. Ia menatap anak kecil yang baru saja menggendong boneka besar. Kia langsung menepuk bahu Bapaknya.
"Pak, Kia mau nyoba lagi deh. Kia mau boneka kaya adek itu."
***
Sepulang dari pasar malam, pukul 9 lewat empat puluh, Kia membawa boneka ukuran sedang juga akhirnya. Pandu mencegah Kia masuk ke dalam rumah. Kia mengerutkan dahinya, "Kenapa?"
"Jangan masuk dulu. Tunggu di sini."
"Kenapa, Pak? Ada apa?"
"Udah, Kia tunggu di sini aja dulu."
Kia terpaksa menuruti perintah Bapaknya. Ia duduk di kursi rotan teras rumah dengan Pandu yang masuk ke dalam kamarnya membawa sebuah balon matahari berwarna warni dengan gambar emoji tersenyum ke hadapan Kia.
Perempuan itu langsung menutup mulutnya, "Wahh .... Balon!"
"Ini hadiah ulang tahun Kia ya Pak?"
Pandu memangguk, "Selamat ulang tahun putri kecilnya Bapak."
Pandu mencium dahi Kia. Gadis itu langsung memeluk Bapaknya erat. Ia terisak, harga balon itu memang tidak seberapa. Tapi effort dan dari siapanya yang membuat Kia terharu. Terlebih lagi, balon itu memiliki emoji tersenyum di depannya. Membuat hati Kia langsung teriris melihat pengorbanan Bapaknya selama ini.
Kia melerai pelukannya, ia mengambil balon itu.
"Ini adalah kado terbaik yang Kia dapatkan. Terima kasih untuk balon happy nya, Pak."
Pandu mengangguk, "Semoga Kia bisa terus tersenyum seperti balon ini."
"Pasti. Kia akan selalu tersenyum kaya balon ini. Kia suka sekali sama kadonya. Bapak memang yang terbaik. Kia sayang Bapak!"
"Bapak juga."
Kia sampai tak sadar air matanya menetes begitu saja. Pandu lagi-lagi menghapus air mata anaknya seperti yang ia lakukan saat Kia baru lahir, TK, SD, SMP, bahkan sekarang sudah SMA pun saat Kia menangis, Pandu yang menghapus air matanya.
Ia menggerakkan tangannya, "Maaf belum bisa jadi seorang Bapak yang sempurna kaya teman-teman Kia yang lain. Tapi Bapak bangga punya anak kaya Kia. Semoga Kia selalu tertawa seperti ini ya?"
"Kia juga bangga punya Bapak kaya Pak Pandu. Kia sayang Bapak, apapun itu. Kia sayang Bapak. Makasih selalu ada di samping Kia."
Pandu memeluk anaknya. Kia terisak di sana. Jujur, ini adalah kado terbaik di hari terindah. Besok adalah hari ulang tahun Kia. Malam ini Kia benar-benar beruntung memiliki Bapak seperti Pandu meskipun Bapak Kia bukanlah Bapak yang sempurna. Tapi dengan ketidak sempurnaan itu, Kia tetap bangga memilikinya. Entah dengan kata apa lagi Kia bisa mendeskripsikan bahwa ia benar-benar sayang dengan Bapaknya.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Yang Kehilangan Pundaknya
Short StoryBapak adalah cinta pertama bagi Kiara. Sejak SD, Kia tinggal berdua bersama Bapaknya yang tuna wicara. Meskipun begitu, Kia selalu bercerita pada Bapaknya apa saja hal yang ia lalui di luar sana setelah pulang sekolah setiap harinya. Namun saat Kia...