•mawar merah

61 8 1
                                    

Nilam menahan tangannya yang gemetar saat Hani dan Yuri sedang mengintrogasi saat ini. Perpustakaan terlihat sepi seperti biasanya. Tidak dengan hati Nilam yang bergemuruh saat ditatap tajam oleh mereka berdua.

Yuri memukul meja, "Cepat bilang! Apa yang kamu tau hari itu?"

Hani berdecak, "Jangan kasar gitu, nanti dia gak mau bicara."

"Ya abisnya dari tadi diem terus. Oke, Nilam, sekarang aku tanya. Apa yang terjadi di ruang kesenian waktu itu? Aku tanya kaya gini karena kamu terpilih ikut lomba seni seperti Kia. Dan kami mau tau apa yang terjadi sama Kia sore itu. Apa kamu tau?"

Nilam menggeleng, "A-aku gak tau apa-apa."

Cahaya yang sejak tadi diam buka suara saat Yuri menatapnya tajam. Dia segera menggeleng, "Apalagi aku. Aku gak tau apa-apa."

"Bohong, kalian gak berani liat kami. Pasti kalian bohong. Kalian tau sesuatu kan?"

Nilam menggeleng, "Udah ku bilang aku gak tau sesuatu. Kami cuma melukis abis itu pulang, aku gak ada hubungan apa-apa sama Kia. Kalau gak percaya cek aja cctv ruang kesenian."

Di sisi lain, Sagara mengerutkan dahi heran menatap cctv setelah menyuap penjaga untuk memperlihatkan cctv di ruang kesenian satu bulan yang lalu. Pasalnya, tak bisa sembarangan orang yang bisa melihat tayangan cctv itu.

"Kenapa gak ada, Pak? Waktu hujan sore hari sekitar pukul 3 sampai 4 gitu. Coba di cek ulang."

"Gak ada, Sagara. Ini udah Bapak putar yang tadi. Rekaman cctv 4 November 2021 mulai pukul tiga sore hilang sampai malam. Cctv kembali beroperasi pagi harinya. Gak hanya di situ, di kantor guru, koridor guru, pun cctv nya tepat hari dan jam tadi itu mati semua."

"Kenapa bisa?"

"Saya gak tau, mungkin saja ada kesalahan sistem."

Sagara berdecih, "Gak mungkin. Pasti ada sesuatu. Pasti ada yang sengaja menghapus rekaman cctv hari itu."

"Udah deh kamu kembali belajar sana, nanti saya kena marah kalau kasih murid akses cctv."

Sagara keluar. Ia mengurut pelipisnya sambil berteriak tak puas karena ia tak menemukan bukti apapun. Begitu pun halnya dengan Yuri dan Hani. Mereka berdua mendatangi Sagara yang baru keluar.

"Gimana?" tanya mereka.

Sagara menggeleng. Mereka berdua menghembuskan napas, "Nilam dan Cahaya juga gak tau apa-apa. Apa mungkin kita harus cek cctv di jalanan? Siapa tau pelakunya preman preman pasar?"

"Ya. Hanya untuk beberapa tempat yang ada tempat pemantaunya. Kalau gak ada?" tanya Hani.

"Kita coba aja dulu," ucap Sagara. "Aku udah ngumpulin uang buat dapetin informasi soal cctv itu."

"Lah, pake duit toh?" tanya Hani.

Sebelum Sagara meninggalkan mereka, ia berkata, "Di dunia ini, semuanya akan lebih mudah kalau kita punya uang."

Dua minggu setelah itu, Sagara, Hani dan juga Yuri telah mengecek semua kamera dasbor mobil yang sempat terekam cctv di area pengawasan dekat sekolah. Semuanya tanpa terkecuali, namun tetap saja mereka tidak punya bukti apapun. Cctv itu hanya memperlihatkan Kia yang sudah berantakan di tengah hujan sambil memeluk canvasnya.

Sagara menendang udara dengan kakinya. Ia mengurut pelipisnya.

"Kita udah cek semua dasbor, cctv jalan tapi kita gak dapat apa-apa. Dua Minggu ini sia-sia."

Hani pun menghembuskan napas panjang dan memilih untuk duduk di halte setelah mereka selesai mengecek cctv. Yuri mendekati Hani, "Tapi ... Aku masih penasaran sama Nilam dan Cahaya."

Sagara bertanya, "Kenapa?"

"Hani, kamu gak ngerasa aneh ya? Nilam itu kaya nyembunyiin sesuatu tau gak? Gini gini ..." Yuri duduk di tengah-tengah mereka.

"Waktu aku sama Hani nanya soal Kia ke Nilam dan Cahaya, mereka langsung nunduk, tangannya juga aku liat gemetar. Kaya ada yang disembunyikan, ya walaupun mereka ngakunya gak tau apa-apa. Tapi gerak geriknya mencurigakan, kalau kata psikolog, itu semua cuma kebohongan untuk menutupi kebenaran."

"Maksudnya kebenaran kalau Nilam dan Cahaya tau sesuatu?"

"Ya itu." Yuri menanggapi ucapan Sagara barusan.

Hani bangkit, "Gak ada cara lain. Kita juga harus pake cara jahat untuk nangkap penjahat."

"Maksudnya?"

"Kita harus paksa Nilam dan Cahaya ngaku."

"Caranya?" tanya Sagara.

"Itu yang harus kita pikirkan. Atau kita culik aja mereka berdua?"

Yuri tertawa, "Hah? Ide macam apa itu?"

Namun melihat wajah serius dari Sagara, Yuri hanya bisa melongo. Bahkan untuk tiga hari setelah itu, ternyata Sagara dan Hani benar-benar nekat. Mereka membius Nilam dan Cahaya hingga pingsan dan menyekapnya di gudang sekolah.

Setelah Cahaya bangun, Hani langsung mendekat ke arahnya. Hani membuka kain yang diletakkan di mulut Cahaya.

Perempuan itu meraup udara sebanyak-banyaknya.

"Hani, Sagara, Yuri .... Kalian ngapain?!"

"Menculik kalian," jawab Hani santai.

"Lepasin, gak?!"

Teriakan dari Cahaya membangunkan Nilam. Hani membuka kain yang ada di mulut Nilam.

"Sekarang kalau kalian gak mau mati digigit tikus sebanyak ini, kalian harus jujur soal malam itu." Nilam melebarkan matanya saat melihat banyaknya tikus didalam akuarium yang sedang Sagara pegang.

"Gila ya kalian!"

Yuri tertawa, "Udah lah ngaku aja. Kalian tau sesuatu di kejadian itu kan? Kalian di suap kan? Ayo ngaku siapa yang suap kalian?!"

Nilam menggeleng, "Kami gak akan ngaku karena kami gak tau apa-apa. Lepasin kami!"

Cahaya menatap Nilam dengan sendu, "Nilam, please ... Aku takut tikus."

Nilam menggeleng, "Enggak. Kamu gak tau apa-apa Cahaya. Stop. Mereka cuma nakut-nakutin kita."

"Oh ya?" Hani maju dan mengambil satu tikus. Ia berjalan pelan mendekati Cahaya yang mulai ketakutan. Cahaya langsung merengek meminta agar tikus itu dijauhkan dari dirinya.

Yuri membuka ponselnya yang gemetar. Satu panggilan tak terjawab barusan dari kontak Kia. Hani dan Sagara langsung mendekat. Satu buah pesan dari ponsel Kia membuat mereka langsung bertanya-tanya.

kiaa🤍
*send picture
|Yuri, ini Pak Pandu. Ponselnya Kia
bapak yang pegang. Barusan Kia tidur, kamarnya gak di kunci. Bapak liat hasil lukisan terbarunya. Apa kalian tau sesuatu?"

Sagara dan yang lain mengerutkan dahi melihat hasil lukisan itu. Hanya ada sebuah lukisan bunga mawar kecil dengan merah terang di sana.

***
Bersambung

Perempuan Yang Kehilangan PundaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang