•pengakuan

64 8 1
                                    

"Kia, bisa coba cerita apa yang terjadi waktu itu? Enggak apa-apa gak perlu dipaksa semuanya, sedikit saja kalau saya boleh tau?"

Kia masih terdiam mendengar ucapan Penasehat Hukumnya. Yuri, Hani, Pandu juga Sagara yang ada di sana menatap cemas. Kia tetap tak ingin bicara. Penasehat Hukum—Tias menatap ke arah mereka.

"Kia, kamu bisa ke kamar ya?"

Kia mengangguk. Ia kembali ke kamarnya dan mengunci pintunya. Tias mengatakan, "Susah untuk menghadapi Andrew Mahatma kedepannya kalau Kia gak mau terus terang. Majelis Hakim tidak akan percaya sepenuhnya kalau kita hanya mengandalkan bukti Andrew yang mengancam Cahaya. Kita bisa jatuhin Andrew, tapi itu gak akan lama. Kemungkinan satu tahun udah keluar, sedangkan apa yang di alami Kia membekas hingga tua nanti. Ini benar-benar gak adil."

Tias menjelaskan kepada Sagara, Yuri, dan Hani sambil menggerakkan tangannya menerjemahkan dengan bahasa isyarat sekalian agar Pandu juga mengerti.

"Jalannya kalau tidak mencari tahu arti dari lukisan lukisan Kia setelah kejadian itu seperti bunga mawar, kita harus dapatkan isi dari kamera teman kalian, Cahaya."

Yuri membuang napas panjang, "Susah. Cahaya gak mau kasih, terlebih lagi kemarin kameranya rusak gara-gara aku."

"Kita bisa jadikan Nilam dan Cahaya sebagai saksi. Kalian bilang dua orang itu punya posisi yang sama dengan Kia kan? Berarti mereka tau sesuatu, setidaknya sedikit untuk membuka jalan bagi kita. Karena Andrew itu punya banyak tameng, dia memilih pengacara terkenal, kita harus hati-hati. Suatu saat, Andrew bisa saja menyuap anggota pengadilan untuk mencabut gugatan ini. Hukum itu bahaya untuk orang yang berduit."

Sagara membuka suara, "Aku akan coba dekati Pak Andrew. Aku akan cari tau tatto itu sebelum sidang kedua dilanjut."

Hani mengangguk, "Aku dan Yuri akan terus memohon kepada Cahaya dan Nilam. Mereka bisa jadi kunci di persidangan ini."

Hari berikutnya, Sagara mengikuti Andrew yang sedang asik berolahraga di pagi hari. Gila! Benar-benar gila! Saat tim Kia sedang sibuk mencari bukti, Andrew Jahanam malah bebas menghirup udara segar begitu saja. Sagara membawa botol air minum yang cukup besar. Ia sengaja melemparkan air minum itu di pakaian olahraga Andrew yang berwarna putih.

Laki-laki itu berdecak dan menoleh ke belakang. Sagara tersenyum kikuk, "Eh, Pak Andrew ternyata. Maaf, Pak. Aduh ... Saya benar-benar gak sengaja. Tadi saya mau minum, rupanya teman saya jahilin saya terus tuh yang itu tuh ..." Sagara menunjuk ke arah sekumpulan pemuda yang ikut berolahraga, padahal ia jelas tak mengenal mereka siapa.

"Jadi tumpah deh kena Bapak. Aduh, maaf ya Pak. Bapak gak papa?"

Andrew mengibas-kibaskan bajunya, tepat! Sagara dapat melihat jelas tatto bunga mawar di bagian perut bawahnya Andrew. Saat Andrew sedang sibuk memeras bajunya yang sudah basah, Sagara justru berpura-pura menjawab telepon, padahal ia memotret tato itu.

Sedangkan misi dari Hani dan Yuri tak semulus apa yang mereka harapkan. Cahaya tetap tak ingin jujur, dan Nilam berusaha untuk menghindar.

"Cay! Cahaya please, kamu udah baca beritanya kan? Kamu itu perempuan gimana kalau kamu ada di posisi Kia? Aku tau kok kalau kamu diancam sama Pak Andrew, aku nguping waktu Pak Andrew marah karena dia pikir kamu punya salinan video dan kamu pindahkan lagi ke kamera. Aku tau, kamu punya salinannya kan? Aku mohon jadi saksi di persidangan nanti, Cahaya. Aku. Maksudku, kami ... Ya kami. Kami mohon."

Yuri mengangguki ucapan Hani barusan. Ia menanggapi, "Kami bakal traktir makan kamu sebulan. Dua bulan. Tiga bulan, yang penting kamu jadi saksi. Ya ya?"

Cahaya berdecak, ia menatap Hani dan Yuri dengan mata memerah, "Kalian gak tau apa yang terjadi dengan hidupku jadi aku mohon kalian jangan masuk ke kehidupan aku dan tolong. Tolong jangan paksa aku untuk jadi saksi, karena aku gak pernah terlibat apapun. Oke?"

"Pengecut," ucapan Yuri barusan menghentikan langkah Cahaya yang hendak pergi meninggalkan mereka.

"Kamu itu perempuan. Kita perempuan. Sesama perempuan kita harus saling dukung dan melindungi. Gimana kalau kamu ada di posisi Kia? Kamu tau seberapa hancurnya dia sekarang? Kamu lupa Kia yang selalu bantu kamu kalau kamu dihukum sama guru karena Kia anak kesayangan guru? Kamu tau dia sekalut apa sekarang? Kamu mau hidupmu diperankan oleh laki-laki brengsek kaya Pak Andrew? Kamu yakin? Ini hidupmu, Cahaya."

"Karena ini hidupku, kalian gak punya hak untuk paksa aku. Aku gak akan kasih video itu ke kalian."

Tamparan di wajah Cahaya membuat dada perempuan itu bergemuruh. Ya. Hani memang diam sejak tadi, ia sudah tak tahan lagi. Cahaya balik menamparnya.

Hani menatap Cahaya dengan mata memerah, "DASAR PENGECUT! DASAR PENGECUT!"

"YA! AKU MEMANG PENGECUT. AKU PEREMPUAN PENGECUT YANG GAK BISA BANTU PEREMPUAN LAIN YANG MENDERITA. AKU BUKAN MALAIKAT. AKU JUGA PUNYA HAK UNTUK MEMILIH ALUR HIDUP KU SENDIRI. AKU TAU KIA HANCUR TAPI APA KALIAN GAK TAU HIDUPKU JUGA HANCUR KALAU VIDEO ITU KESEBAR?! HAH?! AKU CUMA PUNYA AYAH YANG SAKIT-SAKITAN DI RUMAH, AKU BAKAL JADI YATIM PIATU KALAU AKU NEKAT LAKUIN ITU KALIAN TAUUUUU!!!"

Yuri berdecih, "Andrew kan? Memang dia kan pelakunya? Dia ngancam kamu kan?"

Cahaya menghapus air matanya, "Apa kalian harus sejauh ini demi Kia? Kalian harus melakukan ini demi teman kalian?"

"Kia bukan teman. Dia sahabat, dia sahabat yang paling mengerti kalau kami sedih. Sebagai sahabat, haruskah kamu mendiamkan Kia yang terkurung di kamarnya setiap hari dengan perasaan takut yang selalu menghampirinya? Pelecehan itu kejam, Cahaya. Pelakunya paling lama 12 tahun penjara udah bebas, belum lagi kalau dia punya banyak dekingan. 5 tahun udah keluar, dan bagaimana dengan korbannya yang sudah mengalami trauma di masa remaja bahkan ada korbannya yang juga seorang anak kecil. Trauma itu akan dibawa sampai mati, Cahaya ... Sampai mati!"

Cahaya menunduk mendengar ucapan mereka. Beberapa hari setelah itu, sidang kedua dibuka. Cahaya akhirnya mengakui segalanya kepada Hani dan Yuri bahwa ternyata saat keluar dari kamar mandi, Nilam pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Ia hendak mengejar namun Cahaya lupa akan ponsel dan kameranya di dalam tas. Ia masuk ke dalam ruang kesenian untuk mengambil tas. Namun perempuan itu terpaksa mengendap di sela-sela lemari saat mendengar suara teriakan Pak Andrew.

Ya. Cahaya melihat semuanya. Ia bahkan merekam itu semua di kamera. Juga ... Ponselnya. Ia membekap mulutnya. Sampai saat ini. Akankah di sidang kedua Cahaya mengakui segalanya kepada Hakim Ketua?

***
Bersambung

Perempuan Yang Kehilangan PundaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang