Lukisan yang beberapa bulan lalu sempat dirusak oleh Andrew itu dijahit ulang oleh Kia.
Canvas putih yang dinodai warna merah marron berantakan itu terkoyak di bagian tengahnya. Kia menyalurkan rasa sakitnya pada lukisan itu. Ia menjahit ulang bagian yang terkoyak di ditengah. Bahkan luka yang ditinggalkan orang lain akan dijahit oleh dirinya sendiri. Air mata sudah membasahi pelupuk matanya. Kia terisak ketika tangannya tak sengaja terluka mengenai sudut jarum.
Ia tak peduli jika pada akhirnya lukisan itu bercampur dengan darah di tangannya. Bahkan Kia sudah terbiasa dengan rasa sakit itu. Ia kembali menjahit lukisan itu hingga selesai.
Ia menatapnya lamat. Bahkan setelah dijahit ulang pun, canvas itu tak bisa jadi utuh seperti sediakala. Tetap ada bekas jahitan yang merusak canvas itu. Kia mengambil banyak cat dan mengeluarkan semua cat berwarna hitam. Ia tak perlu kuas, tangannya bergerak menempelkan cat itu pada tangannya dan mulai mewarnai lukisan itu kembali seperti tak terjadi apa-apa dengan canvas itu. Ia menganggap canvas itu sempurna. Hitam pekat tanpa jahitan. Maka sebagai pelukis Kia akan menorehkan semua warna hitam di canvas itu. Lalu mulai menggambar burung merpati putih yang sayangnya dipenuhi dengan luka.
Kia meneteskan warna merah pada sayap merpati putih hingga cat itu mengalir kebawah layaknya sayap merpati yang berdarah setelah mengalami luka yang sekarang sayap luka itu di plaster oleh Kia.
Kia tak bisa menahan rasa sakitnya. Ia memukul dadanya berkali-kali menyalurkan rasa sesak di sana. Tangannya sudah penuh dengan cat. Kia menangis sesenggukan melihat hasil lukisan burung merpati putih yang sayapnya terluka dan bagian tengah nya penuh dengan jahitan. Lukisan itu adalah jiwa Kia. Bahwa seberapa lama dan seberapa banyak usaha untuk menjadikan sempurna, merpati itu tetap kehilangan arahnya. Merpati putih tak bisa terbang lagi. Meskipun manusia manusia gila yang menyakitinya sudah mati terkubur tanah, sayap merpati putih itu tetap tak bisa disembuhkan. Lukisan itu tetap memiliki bekas jahitan. Trauma itu tidak akan bisa hilang. Selamanya.
***
Sidang lanjutan kasus pembunuhan.
Setelah Majelis hakim duduk, semua pengunjung sidang pun ikut duduk. Panitera memanggil saksi selanjutnya. Kia datang dari pintu khusus dengan pakaian yang berbeda dari biasanya. Kia memakai dress putih dan sepatu hak pemberian Bapaknya. Tak lupa dengan rambutnya yang di kepang dua dengan pita kuning. Kia duduk di bangku yang telah di sediakan. Pandu tersenyum sambil mengeluarkan air mata melihat betapa cantiknya Kia memakai dress pemberiannya.
Sagara, Yuri dan Hani saling pandang. Kia bersumpah terlebih dahulu sesuai agamanya mengenai keterangan saksi yang akan diberikan. Setelahnya ia mulai menjawab beragam pertanyaan yang dilontarkan oleh Majelis Hakim.
"Saudara Kia, apakah saudara tau atas kasus apa saudara dipanggil untuk menjadi saksi?"
Kia menatap Pandu lama. Laki-laki yang memakai pakaian tahanan itu tersenyum. Ia menggerakkan tangannya ke arah sudut bibirnya agar Kia tersenyum. Ia berkata, "Kia gak perlu takut. Kia harus jujur. Bapak gak Papa."
Untuk beberapa bulan setelah kejadian itu, hari ini Kia baru berani membuka suara. Ia mengangguk, "Atas kasus pembunuhan."
"Baik, saudara tau bahwa terdakwa adalah ayah kandung saudara sendiri?"
Kia mengangguk.
"Apa benar bahwa anda juga melihat kejadian saat pelaku membunuh korban sesuai dengan pernyataan yang diberikan saksi sebelumnya bahwa ayah anda membunuh guru anda sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Yang Kehilangan Pundaknya
Short StoryBapak adalah cinta pertama bagi Kiara. Sejak SD, Kia tinggal berdua bersama Bapaknya yang tuna wicara. Meskipun begitu, Kia selalu bercerita pada Bapaknya apa saja hal yang ia lalui di luar sana setelah pulang sekolah setiap harinya. Namun saat Kia...