❝ Rumah yang dingin memang kontras dengan tawa. Namun di balik riuh tawa, ada ketiadaan yang bersemayam di hati sang perekah. ❞
🌊
"Ya Allah semoga ayah belum pulang."
Keringat dingin mulai bercucuran di pelipis Bima. Pikirannya yang berkecamuk, membuat rasa takut yang berusaha ia redam justru menjalar ke seluruh tubuh. Disepanjang jalan, ia hanya mampu merapal doa untuk meminta pada sang Kuasa agar dirinya tak mendapat luka baru hari ini. Saking takutnya, Bima hampir kehilangan fokus yang mengakibatkan oleng dan hampir terjatuh saat itu.
Tak terasa, kini dirinya hanya tersisa beberapa meter dengan pekarangan rumah. Jantungnya berpacu lebih cepat, raut wajahnya pun berubah tegang kala melihat siluet mobil berwarna hitam milik sang ayah dari sela-sela gerbang rumahnya. Tangannya yang memegang stang sepeda pun bergetar tak karuan. Dia terlambat, Ayahnya sudah datang. Mau tak mau ia harus menerima luka baru nanti malam.
"Assalamu'alaikum," lirih Bima ketika memasuki gerbang rumah.
"Wa'alaikumsalam, Den," jawab salah satu art yang sedang menyapu halaman.
"Ayah mana, Bi?" tanya Bima dengan waswas.
"Ada didalem, Den. Tadi Aden disuruh kedalem sama Tuan kalau sudah sampai," balasnya dengan sopan.
"Oh ... gitu ya bi, aku kesana dulu deh kalau gitu. Assalamu'alaikum," pamit Bima.
"Wa'alaikumsalam."
Bima menghirup nafas perlahan, berusaha menetralkan ras sesak dengan oksigen yang ada. Berkali-kali ia mengelus dadanya yang terasa sakit sebab detak jantung yang terlalu keras sebab nafas yang tersengal karena mengayuh sepeda terlalu kencang. Perlahan, kaki mungilnya melangkah menaiki satu persatu anak tangga yang menghubungkan ruang tamu dengan kamarnya beserta sang ayah.
Sampai dimana pintu jati bernuansa coklat terpampang jelas di hadapannya. Secercah niat kabur lantas tumbuh, namun ia teringat hal itu termasuk perilaku durhaka, dan ia tak akan sudi melakukannya. Mau tak mau ia harus masuk dan menemui sang ayah walau apa yang akan ia dapat hanyalah luka belaka.
"Assalamu'alaikum, Ayah," lirih Bima seraya membuka pintunya pelan.
"Masih ingat rumah?" tanya Ayah Bima dengan pandangan masih mengarah ke laptop dan berkas-berkas penting dari kantor.
"Maaf, Yah ...." tutur Bima seraya menunduk menatap ubin dingin ruang kerja ayahnya.
"Kamu tau ini jam berapa?" Ayah Bima menutup laptop miliknya kemudian menatap nyalang sang anak seraya bersedekap dada.
"J-jam setengah 6," jawab Bima dengan terbata-bata.
"Les jam berapa?" tanya Ayah Bima dengan nasa yang begitu dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombak Bintang || TXT [REVISI]
Подростковая литература[Friendship, comedy, and angst] Deru hidup tak selalu sendu, begitu pula deru tawa yang tak selamanya memendam rindu. Kelima sudut bintang dengan masing-masing sinarnya, menjadi saksi bagaimana dunia berputar dan berhenti di poros kesedihan. "Tante...