❝ Suatu hari nanti, akankan batinku terbebas dari belenggu sendu? ❞
🌊
Siluet rumah kecil berbahankan bambu mulai menyapa ia yang berjalan layu. Rumah penuh hangat, yang mengkokohkan batin rapuhnya, ternyata terlihat ringkih di bawah terangnya senja.
Teo seketika menghela nafas panjang. Eksistensi bangunan itu seakan tak mampu lagi digunakan untuk berteduh. Sebab dinginnya angin saja mampu menembus hangat cengkrama di berbagai celah.
"Kalau gitu aku pamit, ya? Nanti Magrib kita ketemu di masjid, assalamu'alaikum!"
Teo yang sedang bergelut akan lamunannya, sontak tersentak akan seruan dari Shaka. Bahkan saking asyiknya berkelana di rumitnya pikiran, ia sampai tak sadar bahwa kakinya telah menapak di hadapan pintu masuk rumahnya.
Sedari tadi memang tiada cengkrama sejak Farhan menurunkannya di belokan sebelum rumah Bima. Melihat betapa memprihatinkannya kondisi anak itu, membuat ketiganya enggan melontar tawa yang harusnya menghiasi derap. Rasa cemas begitu mendominasi hingga rasanya kelu untuk sekedar berbincang.
Belum sempat membalas, keduanya lantas dibuat bingung akan Shaka yang secara tiba-tiba berbalik dan berlari ke arah mereka.
"Kangen Nek Tami. Aku main sebentar, ya?"
Keduanya mengangguk dengan senyum manis detik itu. Sampai pada kesunyian yang membalas salam riang mereka, senyum ketiganya luntur seketika.
Derit anyam bambu yang dijadikan pintu, terbuka lebar hingga menampakkan kondisi dalam rumah yang terang. Bukan karena lampu, namun sinar mentari yang menyusup masuk dari sela anyaman bambu dan lubang dari genteng.
Namun agaknya, hangat rumah sore ini terasa kurang karena gema sapa belum mampir pada rungu. Sepi, sunyi, senyap. Tak seperti biasanya yang diisi suara lembut Nek Tami setiap mereka tiba.
"Nek? Teo sama Azzam pulang, nih. Aa' juga ada, kangen Nenek katanya," ujar Teo seraya menyisir bagian dalam rumah tuk mengetahui keberadaan neneknya.
Perasaan gelisah yang sedari tadi ia tepis, tak ayal kembali menggerogoti. Tirai bermotif bunga yang menjadi sekat antara kamar dan ruangan luar, telah berada di hadapan ketiganya. Teo yang masih dihantui ragu namun menggebu, akhirnya menyingkap tirai tersebut.
Nafasnya seakan tercekat, tangannya yang menggenggam beberapa lembar uang, mengepal erat hingga gemetar. Natanya yang membola, turut bergerak gelisah bersamaan kakinya yang menderap tergesa.
"Nek! Nek, bangun, Nek .... Nenek! Aa', Azzam! Nenek gak mau bangun ...."
Panik membelenggu batin mereka. Derai air mata Teo dan Azzam saat ini mampu menggoyahkan pikiran Shaka hingga tak dapat berpikir jernih. Ia yang masih mematung di ambang pintu, hanya mampu terbelalak seraya mengendalikan dirinya yang mulai gemetaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombak Bintang || TXT [REVISI]
Fiksi Remaja[Friendship, comedy, and angst] Deru hidup tak selalu sendu, begitu pula deru tawa yang tak selamanya memendam rindu. Kelima sudut bintang dengan masing-masing sinarnya, menjadi saksi bagaimana dunia berputar dan berhenti di poros kesedihan. "Tante...