09. Returning Memories

4.4K 601 83
                                    

NASKAH YANG TERSEDIA DI WATTPAD MERUPAKAN NASKAH YANG BELUM PERNAH DI REVISI, MASIH TERDAPAT BANYAK KESALAHAN TERMASUK ADA BEBERAPA KATA ATAU NARASI YANG KURANG NYAMAN DI BACA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

NASKAH YANG TERSEDIA DI WATTPAD MERUPAKAN NASKAH YANG BELUM PERNAH DI REVISI, MASIH TERDAPAT BANYAK KESALAHAN TERMASUK ADA BEBERAPA KATA ATAU NARASI YANG KURANG NYAMAN DI BACA. VERSI BUKU NOVEL ADALAH VERSI TERBAIK DAN LENGKAP.

~~~

•🛠️🛠️🛠️•

Awalnya memang Alvira terdiam, namun diamnya itu bukanlah suatu ketakutan—melainkan rasa penasaran. Sejak Varlenzo menegaskan kalimat yang mungkin bisa disebut sebagai kalimat ancaman, hal tersebut malah membuat Alvira berniat melakukan hal yang lebih menantang. "I choose to sleep with you tonight." Alvira tersenyum licik sembari menatap Varlenzo ingin tahu akan bereaksi seperti apa.

Seluruh otot tangannya sedang memutar kuat kunci roda, Varlenzo seakan tak peduli dengan gadis itu. Bunyi alat-alat otomotif menjadi pemotong gurauan Alvira, ia mengurungkan niat untuk berkata lagi. Mengajak Varlenzo bercanda itu sangat sulit, lelaki itu terlalu serius.

"Ternyata kau tipe teman yang membosankan." Alvira memutar bola matanya malas, membuka tas gitar—berniat menghibur diri sendiri dengan memainkan alat musik tersebut. Baru saja memetik beberapa senar, sepertinya sang penghuni rumah tidak suka.

"Aku benci jika ada kebisingan di sekitar ketika aku sedang fokus bekerja. Jika masih ingin di sini diam saja, jangan mengganggu.... Atau lebih baik kau pulang."

"Jika aku pulang, kau tidak ada teman."

"Lebih baik tidak ada teman jika kau hanya bisa merepotkan."

Tak ada benda tajam yang menusuk hatinya, tetapi Alvira merasakan sesuatu yang tak terlihat baru saja melukai hatinya. "Watch your mouth!" Alvira berucap dengan nada cukup tinggi, ia menarik napas dalam dan tengah berusaha mengendalikan emosinya yang mungkin bisa memengaruhi kecemasannya. "How could you," lanjutnya lirih.

Varlenzo berdiri, ia mengelap keringat yang hampir menetes dari ujung hidungnya. Setengah pekerjaannya sudah selesai, tinggal sisa satu mobil saja yang perlu ia periksa mesinnya. Laki-laki itu berbalik, mata dinginnya menatap serius ke arah Alvira. "Aku kira kau sudah terbiasa dengan sifat burukku, suka memaki dan berkata kasar."

Terukir senyum asimetris, sebenarnya Alvira muak. Tetapi tak ada hal yang bisa ia lakukan selain menerima dengan lapang dada. "Kebanyakan orang memang seperti itu, berkata seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain."

Hatinya yang sekeras batu, baru kali ini Varlenzo merasakan ada sesuatu yang salah dalam dirinya. "Sudah tahu hidupku seperti ini, lalu mengapa kau masih ingin menemuiku, Lee Alvira?" Tatapan itu terlihat tak seperti biasanya—hingga membuat Alvira bangkit untuk berkata di hadapan Varlenzo secara langsung dengan jarak yang sangat dekat.

"Kau ingin tahu?" Alvira mengangkat dagunya, menunjukkan bahwa ia tengah serius untuk berkata kalimat yang selanjutnya. "Karena penderitaan hidupku tak jauh berbeda denganmu."

VARLENZO: Wound Healer [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang