24. An Exhausted Soul

3.2K 386 99
                                    

🛠️•••🛠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🛠️•••🛠️

Timbunan kedua tangan rampingnya menjadi pengganjal tidurnya yang menempel hangat dengan sebelah pipinya. Alvira mengistirahatkan tubuhnya dengan posisi duduk dan kepalanya mengambil sedikit area di sisi ranjang pasien.

Hanya ada hembusan napas mereka yang terdengar saling bersahutan, sangat tenang dan tak ada hal apa pun yang dapat mengganggu ketenangan mereka. Beberapa helai rambut Alvira sedikit menghalangi paras cantiknya yang lelah pucat. Tangan yang terpasang jarum infus itu perlahan bergerak untuk menyapu helai-helai rambut pendek sang gadis. Varlenzo telah sadar.

Memandangi Alvira yang tertidur pulas, mengingat-ingat banyaknya air mata yang telah gadis itu tumpahkan semalam. Hatinya yang keras sedikit terketuk, kala dirinya terluka dan terpuruk ... membentang lemah tak berdaya, lalu mendapat pelukan yang lebih jauh dari kata tulus dan khawatir. Itu adalah sesuatu yang sangat berharga melebihi dari apa pun.

Rasa benci yang bergejolak, memang tak pernah lepas dari hidup Varlenzo. Sosok Alvira yang pertama kali ia temui memanglah hanya gadis yang banyak merepotkan dan merugikan. Waktu yang mengalir hingga detik ini, tak bisa dibodohi bahwa rasa benci itu masih ada. Namun, perlahan mulai berkurang dan posisinya kini tengah diisi oleh perasaan lain yang Varlenzo sendiri tak bisa mengenali tentang perasaan itu sendiri.

Sebagian tulangnya yang terasa remuk, luka-luka ditubuhnya yang mulai mengering—kali ini sedikit terasa sakit dari biasanya. Varlenzo bahkan sempat menderita luka yang hampir serupa dengan saat ini, perih yang sebelum-sebelumnya itu masih bisa ia diamkan dan hiraukan. Berbeda dengan kali ini, sakitnya terasa menusuk berkali-kali lipat.

Namun, rasa sakit ini bukan hanya tentang luka pada tubuhnya. Melainkan rasa sakit tentang perasaan aneh yang menyiksa jiwa dan raganya. Berperilaku kasar dan tak memedulikan perasaan gadis itu rasanya sudah sangat tak pantas. Tetapi, jika memberi perilaku yang lembut sekali pun ... dirinya merasa lebih tak pantas. Ia takut perasaannya terjebak dan jatuh di hati seseorang yang mampu mendapat masa depan yang jauh lebih sempurna dari orang lain, bukan darinya. Perasaan inilah yang tengah Varlenzo rasakan saat ini.

"Varlenzo?" Alvira terbangun, punggung tangannya mengucek matanya yang sayu. "Kau sudah bangun ternyata." Dengan limbung, Alvira ingin pergi meninggalkan tempat duduknya, mungkin ia akan memanggil dokter atau mengambil sesuatu. Secepat kilat, Varlenzo menahannya dengan cara menarik lembut pergelangan tangan Alvira.

"Jangan pergi, tetap bersamaku."

Alvira gugup, ditambah kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya. "K-kau tak ingin minum atau makan? Atau ... tak ada yang terasa sakit? Biar aku panggilkan dokter."

Varlenzo menggeleng, menepukkan tangannya di sisi ranjang. "Duduklah!" Alvira menurutinya. "Kurang dekat, di sini." Varlenzo menepuk lagi ranjang yang tepat di samping pinggangnya yang terbaring.

Alvira menggeser posisi duduknya, saling menatap canggung satu sama lain. "Katakan jika kau membutuhkan sesuatu."

"Bagaimana bisa semalam kau ada di sana?"

VARLENZO: Wound Healer [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang