00 • Library

395 52 77
                                    

"Bangke! Gue jadi batal ngedate kalo kaya gini."

Tampak seorang siswa tengah mendumel sambil membanting sebuah buku yang kini dipegangnya ke lantai. Dia Haidar. Haidar Ardra Nayaka.

Suara bantingan itu terdengar cukup keras, hingga membuat seseorang yang berada di sisi seberang rak menoleh. "Pokoknya kalo tuh buku rusak, lo yang ganti rugi," katanya. "Ogah gue ikut-ikut."

"Gue dihukum gini juga gara-gara lo!"

"Eh, kunyuk. Lo yang cari ribut duluan."

Haidar berdecak pelan. "Ya elah, Lin. Perkara mangga tiga biji doang-"

Laki-laki bernama Lintang itu melirik sinis ke arah Haidar. "Yang lo colong."

"Pelit banget buset," sahut Haidar. "Lagian, gue juga gak bakal ngambil tuh mangga kalo nyokap gak lagi ngidam mangga lo."

Lintang menaruh kasar buku yang telah selesai dilapnya ke rak. "Masalahnya tuh mangga udah dipesen Bu RT dari semalem. Gara-gara lo colong, gue jadi kena amuk sampe telat masuk sekolah." Itulah alasan kenapa sampai hari sudah mau gelap begini, ia masih berkutat dengan kemoceng, lap, dan tumpukan buku ini.

Ia dihukum membersihkan perpustakaan karena terlambat.

"Lha sama. Gue juga."

"Kena omel Bu RT?"

Haidar nyengir. "Kagak. Telat juga," katanya. "Tapi, gue gak bakal dihukum bersihin perpus kalo bukan lo yang ngomporin! Sengaja banget cari mangsa biar ada temennya."

Kedua bola mata Lintang merotasi. Ia berderap ke arah lemari besar di sudut ruangan, dekat meja pustakawan. Helaan napas berat terdengar darinya, ketika derap langkah terdengar dekat di belakangnya. Sudah ia duga, Haidar pasti mengikuti.

"Ngapain lo ngintilin gue?" tanya Lintang. "Bagian lo masih berantakan tuh."

"Ngapain lo main pergi gitu aja?"

"Kerjaan gue udah beres."

"Ya, trus?" sewot Haidar.

"Gue mau balikin kemoceng sama kain lap," jawab Lintang santai.

"Ya, trus? Lo mau cabut duluan gitu? Ninggalin gue sendirian disini?" Haidar terus mencecar dengar banyak pertanyaan, yang kesemuanya didasari pada satu fakta. Ia takut.

Laki-laki keren dan banyak tingkah ini sangat cupu dengan segala per-hantu-an, perkara mistis, dan sedirian di tempat gelap. Ia bahkan tidur dengan lampu menyala terang.

"Ya, itu derita lo."

"Gak setia kawan banget sih!" jerit Haidar.

"Emang sejak kapan kita temenan?"

Haidar langsung terdiam. Benar juga, ya? Sejak kapan mereka akur dan berteman? Sementara, Lintang terus melangkah menjauh.

"Gak setia musuh banget sih lo!" jerit Haidar sekali lagi. Aneh. Tapi, ya sudahlah. Yang penting ia tak benar-benar ditinggal sendirian disini.

"Lo takut?" Lintang langsung to the point.

"Eng-gak," jawab Haidar gelagapan. "Siapa juga yang takut?"

"Oh. Ya udah." Lintang hendak pergi, tapi lengannya buru-buru ditahan oleh Haidar.

"Tunggu bentar ngapa sih! Gue anterin lo balik deh. Traktir lo makan deh bila perlu," cerocos Haidar. "Lo nggak tau apa ya, perpus ini tuh ada penunggunya."

Salah satu sudut bibir Lintang tertarik. "Oh, penunggu, ya? Kaya mbak-mbak baju putih yang berdiri di belakang lo itu."

Haidar semakin berkeringat dingin. Jantungnya berdegup kencang, seakan mau lepas dari rangka. "Lin, sumpah ya ini nggak lucu sama sekali."

DESTINED TOGETHER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang